Bab 9. Amanah Berat

2.1K 182 10
                                    

Aku duduk santai sambil menyandarkan kepala ke bahu Mas Haikal. Bibirku tersenyum dengan mata mengawasi dua orang yang saling beradu tatapan sengit di hadapanku.

“Abang itu dulu sering mandiin kamu waktu bayi, lho, Ra? Masa giliran udah gede, kamu disuruh beli sarapan aja nggak mau!” Bang Andra memelotot sangar.

Raut wajahnya begitu seram, hampir mirip dengan almarhum Om Torro Margens. Tahu ‘kan artis senior yang biasa mengambil peran antagonis di film itu?

“Idih, bohong banget!” Nara tak percaya. Matanya melirik sadis bak Tante Leily Sagita.

“Aku aja yang beli sarapan, ya?” Mas Haikal berbicara pelan padaku.

Aku menggoyang telapak tangan, tanda tak mengizinkan. “Udah, kita ini tamu, Mas. Biarin salah satu dari dua orang itu yang jalan.”

Aku menepuk meja sekali, meminta perhatian. “Ya udah, tanding aja kalau gitu. Yang kalah harus mau jalan buat beli sarapan,” usulku pada Bang Andra dan Nara. Keburu lapar kalau konflik tidak segera dipecahkan.

Bang Andra dan Nara kembali berpandangan sebelum akhirnya sama-sama mengangguk. Dua orang itu lalu mengambil posisi siap siaga dengan kedua tangan terkepal. Kemudian ....

“ABC lima dasar!”

Mereka berteriak serempak, lalu mengeluarkan jari masing-masing. Aku berdiri mendekat untuk menghitung.

“Nama binatang, ya?” Aku memutuskan, kemudian menghitung. “ABCDE ... F!”

Nara dan Bang Andra sama-sama terdiam. Kerut menjalar di kening tanda berpikir. Ehm ... susah juga, sih.

“Fanda!” Bang Andra menjawab.

Aku tertawa, sedangkan Nara menepuk lengan Bang Andra keras.

“Itu sih panda, Buambang!” Nara protes.

“Eh, sebenarnya namanya fanda. Tapi berubah jadi panda karena konspirasi orang Sunda yang nggak bisa nyebut huruf F.” Bang Andra ngeles seperti orang yang mau ditagih hutang.

“Ibu, Abang menghina orang Sunda, nih!” Nara berteriak.

“Andra! Ibumu ini juga orang Sunda, lho!” sahut Ibu dari dalam kamar.

Nara menjulurkan lidah ke arah Bang Andra sambil tertawa mengejek.

“Dasar tukang ngadu,” gerutu Bang Andra pelan.

“Udah, ulang lagi aja,” putusku menengahi.

Mereka menurut. Tangan mengepal dengan posisi siaga.

“ABC lima dasar!”

Aku menghitung. “ABCDEFGHIJKLMNOPQRS ... T!”

“Tikus!”

“Tapir!”

Bang Andra dan Nara menjawab serempak.

“Lanjut,” perintahku santai.

Dua orang itu tampak berpikir keras.

“Tupperware!” Nara menjawab lagi.

Satu keplakan pelan mendarat di kepalanya. “Sejak kapan ada hewan yang namanya tupperware?” protes Bang Andra.

“Memangnya bukan?” Nara balik bertanya sok polos. “Tupperware itu makhluk hidup juga, tauk!”

“Ish, teori dari mana, tuh?” tanyaku tak habis pikir. Jadi pengen ketemu sama guru biologinya Nara waktu SMP.

Nara menunjuk ke arah dapur. “Tuh buktinya tupperware punya Ibu bisa berkembang biak. Makin lama makin banyak.”

Mas Haikal yang hanya menjadi penonton sampai menyemburkan tawa keras mendengar jawaban Nara yang ngawur.

Aku, Kamu, dan Mantan Istrimu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang