Bab 7. Tuan Makan Senjata

2.4K 198 35
                                    

Sewaktu aku masih kecil, Ibu pernah mengajakku mengikuti beberapa casting sebagai pemain sinetron. Ini serius, ya? Bukan bercanda. Dan alasan Ibu terobsesi menjadikanku artis itu bukan karena melihat bakat akting dalam diri anaknya ini. Bukan sama sekali. Melainkan karena Ibu sangat mengagumi Rachel Amanda. Pasti tahu kan artis yang pernah ngetop pada zamannya itu?

Seperti kebanyakan ibu-ibu pada umumnya, Ibu itu mempunyai hobi menonton sinetron televisi. Salah satu favoritnya adalah sinetron yang dibintangi Amanda. Judulnya ehm ... aku lupa. Sudah lama soalnya.

Namun, aku masih ingat lagu yang menjadi soundtrack-nya. Lagu yang dinyanyikan oleh Drive, judulnya Bersama Bintang. Kenapa aku lupa judul sinetronnya, tetapi malah masih ingat lagu soundtrack-nya? Karena ... Ibu suka sekali menyanyikan lagu itu dengan kreatifitas yang luar biasa sampai-sampai suka mengganti lirik dengan seenaknya.

Kalau tidak salah, liriknya menjadi begini,

"Tidurlah ... besok sekolah. Bacalah doa dahulu. Mimpilah ... dalam tidurmu. Dan jangan ngompoooool."

Iya, begitu. Anaknya disuruh tidur, tetapi emaknya masih nonton sinetron.

Karena hal itulah, Ibu jadi semangat untuk menjadikanku artis sehebat Amanda. Walaupun akhirnya, cita-cita Ibu itu harus kandas. Aku jelas-jelas tak mempunyai bakat untuk berakting. Jadi, Ibu harus merelakan impiannya untuk memiliki anak artis sekeren Amanda atau Nikita Mir-eh, Willy maksudku, tak pernah terwujud.
Dan ternyata, belasan tahun terlewat, kemampuan aktingku masih jalan di tempat. Tak ada kemajuan sama sekali. Bahkan di waktu yang genting seperti saat ini.

"Jadi, ini rumah Ibu?"

Aku terdiam tanpa bisa menjawab pertanyaan Mas Haikal. Duh, kenapa jadi seperti aku yang ketahuan tidak jujur? Padahal seharusnya aku yang marah. Dia yang jelas-jelas ketahuan sedang pergi berdua dengan mantannya.

"Kamu ngapain di sini?" Mas Haikal kembali bertanya.

Untungnya, aku segera dapat menguasai diri. Aku tak mau dia memegang kendali keadaan. Enak saja!

"Ngirim paketnya Nara. Mas ngapain?"

Mas Haikal tak tampak kehilangan ketenangan. Apalagi merasa bersalah. Kenapa dia bisa begitu pandai mengendalikan diri, sih? Heran aku!

"Kamu udah tanya tadi, 'kan? Aku barusan isi saldo E-Toll."

"Sama siapa?" Aku berpura-pura tak mengetahui keberadaan Vita.

Mas Haikal belum sempat menjawab saat sebuah motor berhenti di dekat kami. Sang pengemudi membuka kaca helm dan melempar senyum lebar. Rizky Nazar KW.

"Udah selesai yang kirim paket, Kak? Hayuk, saya anterin pulang. Nggak usah pakai aplikasi."

Jreng! Jreng! Jreng!

Ini kalau di film India pasti sudah ada adegan zoom in zoom out. Fokus kamera akan beralih dari Mas ojol, kemudian ke wajahku, lalu berpindah ke Mas Haikal, kembali lagi ke Mas ojol. Begitu terus sampai menghabiskan durasi sepuluh menit lamanya.

"Lho, Mas kok masih di sini?" Aku heran, dong! Dia seharusnya sudah pergi sejak aku masuk ke kantor ekspedisi, dan itu sudah lebih dari tiga puluh menit yang lalu.

Mas ojol malah meringis. Tersenyum dengan ragu dan wajah tampak malu. "Sengaja nungguin Kakak. Boleh mampir nggak nanti? Saya mau lihat baju-baju dagangan Kakak. Siapa tahu ada yang cocok buat adik saya."

Hei, umurku sudah dua puluh lima tahun! Aku jelas bisa menangkap maksud terselubung dari kalimat-kalimat yang diucapkan Mas ojol barusan. Dulu, zaman masih kuliah dan sering memakai jasa ojek daring, aku sering mendapat flirting-flirting semacam ini. Bila dulu hal ini akan terdengar manis walaupun sedikit cheesy, tetapi itu tak berlaku saat ini. Masa di mana aku sudah menikah, dan suamiku sekarang berada di sampingku. Ini sih namanya bencana!

Aku, Kamu, dan Mantan Istrimu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang