MEREKA MENDATANGI KETAKUTANMU

28 4 8
                                    

Entah mengapa dirinya, berada ditempat ini seperti di hujani oleh kenangan. Semua tempat ini, dari rumput dan baunya, dari warna dan langitnya telah memberinya ingatan segara akan dunia yang telah menghilang dari sisinya. Semacam tempat dimana dia seharusnya tahu. Kenangan ini, terasa begitu nyaman. Tapi entah mengapa, firasatnya berkata lain. ia tahu bahwa sepercik kenangan ini akan segera memudar.

Saat wanita itu pergi ke dalam WC. Affan merasa ada yang tidak beres, dengan tubuh anak-anaknya, Ia menghampiri wanita tersebut. peduli setan dengan norma, semua orang disekitarnya hanya tahu jika dia adalah anak kecil. Bau khas kamar mandi umum menyerang hidungnya. Dinding keramik yang kusam memberi kesan lembab dan basah. Affan mencium bau khas yang lain, bau yang sangat berbeda dan dan entah mengapa bau ini membuat keringannya dingin. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang, serasa ketakutan yang tak terjelaskan merayap dari kaki. Affan berhenti sejenak, lalu melihat sesuatu yang aneh.

Cairan kemerahan mengalir dari bawah pintu, seperti pipa bocor yang meloloskan airnya dari retakan di permukaannya. Bersamaan dengan itu, teriakan seorang perempuan terdengar tertahan oleh dekapan tangan seeseorang. Pintu dimana ada cairan kemerahan itu bergetar kuat, seperti ada dua entitas disana yang saling bersikutan di tempat yang sempit. Lalu, bau menyengat yang membuat mual mengelitik perut Affan kecil untuk mengeluarkan lagi isi perutnya. Beberapa saat kemudian suara seperti sesuat yang basah dan lembek seperti tercerabut dari suatu tempat, terjatuh di atas suatu kubangan. Bau menyengat muncul semakin kuat. Ia mengikuti arah bau itu, meskipun dalam pikirannya sekarang berkecamuk hal-hal yang tidak ingin dia ingat. Rasa tidak nyaman bergejolak bersama hawa panas yang tiba-tiba muncul dan menggelitik bulu kuduknya. Mulutnya ia tutup sekencang mungkin, agar tidak ada cairan muntah yang keluar.

Tanpa Affan sadari, ia telah ada di depan pintu dimana cairan menjjikan itu merembes. Pintu aneh itu kemudian ia buka, dan muncullah seseorang dengan pakaian serba hitam, menyadari ada seorang anak kecil, pria itu lalu membuka kacamatanya dan melihat anak itu dengan tatapan marah. Ia mendorong anak itu dengan tangan kanannya yang penuh darah. Sedangkan, di tangan kirinya sudah ada pisau panjang yang tak lagi mengkilat, berubah warna jadi merah pekat dengan beberapa gumpalan kecil yang Affan tahu betul itu apa.

" Eh anak tengik, Lu gua suruh diem ya diem aja, kagak usah ikutan dimari..." Ujar lelaki itu, tubuh Affan sudah memerah ketakutan, dan ia mulai menyadari sesuatu.

" Fa-fano.." Suara lirih itu membuat kedua kepala menengok nyaris bersamaan ke arah dalam kubikel WC. Fano kecil tahu betul suara lembut tersebut, itu adalah suara dari seorang wanita. Seorang wanita yang tadi memberinya eskrim, seorang wanita yang suara lembutnya begitu nostalgis hingga memberinya rasa nyaman yang selama ini nyaris hilang.

Perasaan mendalam tiba-tiba muncul, rasa kerinduan ini bukan hal asing lagi, tapi sebuah kenyataan yang selama ini terpendam di dalam hatinya. Ia ingin mendekat, melihat dan memeluk pemilik suara lembut itu.

Ia mendekat ke arah kubikel, tapi apa yang ia lihat ini, lagi-lagi tak seperti yang dia pikirkan.

Cairan merah....

Memuncrat disemua sisi kubikel seperti karya abstraktif, gaun span yang berwarna pink lembut sudah bernoda darah hingga nyaris memenuhi semua bajunya.Wanita itu terduduk di atas toilet, kedua kakinya melebar menampakkan apa yang seharusnya tidak diperlihatkan oleh umum. Cairan merah terus menetes dari sana, seperti rembesa pipa yang bocor. Beberapa benda aneh berbentuk seperti gumpalan bersambung menjembul keluar, terlumuri sempurna oleh cairan berwarna merah. Pria aneh itu kemudian membuang sepatu yang berlumuran darah ke arah wanita tersebut, yang sepertinya anatara hidup dan mati.

Gumpalan bersambung itu masih berdenyut-denyut kecil, napasnya seperti tersentak, hilang dari tempatnya. Penampakan itu....

Cairan merah...

Taman....

Bangku berwarna putih..

Tempat sampah merah...

WC berwarna krem..

Semua teka-teki itu kini sudah terpenuhi, terjawab penuh dan seperti tersusun nyata di depan mata Affan. Tubuhnya memanas, rasa yang terungkapkan, yang membekas dalam, yang telah terkubur, kini bangkit kembali seperti menembus dari dasar hatinya. Menjebolnya hingga membuat tubuhnya nyaris oleng karena perbedaan tekanan darah secara mendadak. Ia terjungkal, dan hal itu malah memperjelas apa yang tengah menjembul keluar dari perut si wanita tersebut.

Dulu ia menyebutnya cacing besar yang membuat ibu sakit,dulu ia percaya bahwa ibunya tidak boleh di dekati karena cacing besar ada di dekatnya. Ia dulu percaya saat ayahnya membopongnya dan membawanya jauh dari Ibu, karena cacing besar itu.

Ia tahu pasti, bahwa ibunya sudah meninggal, da ia tahu bahwa pria hitam yang mendorongnya ke dinding adalah Ayahnya, yang baru saja membuat cacing-cacing ibunya keluar di dalam kubikel wc, membuat lukisan artistik dari cairan merah yang sangat ia sukai. Membuat ibunya merintihkan namanya.

Ia akhirnya tahu, bahwa Ayahnya lah yang telah membuat dirinya tidak pernah mengenal sosok Ibu..

Karena dialah yang membunuhnya. Tepat di depan matanya.

Ayahnya telah menciptakan luka mengerikan yang membuat organ dalam ibunya tercerabut keluar, terburai diatas genangan darahnya sendiri.

"To-tolong ibu." Rintihnya sekali lagi

" Hah, mampus lu sekarang, Jalang." Pisau itu lalu ditancamkan ke dahi si wanita yang sudah tak kuasa untuk hanya bernapas, lalu mencabutnya dengan kasar hingga anaknya terciprat cairan merah..

Seperti bilah baja besar baru saja diterjunkan ke dadanya, Affan seperti kehilangan detak jantung sesaat. Tubuhnya lalu melayang karena dibawa pergi Ayahnya. Mereka meninggalkan ibunya yang tengah menatapnya kosong, tanpa kehidupan setelah bilah pisau memberinya tanda garis vertikal di jidat.

Seluruh pandangannya menggelap, ketakutan terbesarnya baru saja lepas, mengamuk seperti membakar tubuhnya dengan keras. Seperti memaksanya untuk berteriak tapi ia tidak mampu. Air mata sepertinya tidak lagi sanggup menunjukkan ekspresi. Mulut mungilnya mnganga kecil, meneteskan liur, seperti melihat sebuah monster mengerikan yang ingin mengigitnya dalam kunyahan kecil.

Pandangannya tiba-tiba teralihkan pada wajah seorang perempuan, tapi ia tampak marah, sangat marah, matanya menghitam legam. Ia berjumlah banyak, serupa dan mengelilinginya dengan suara tinggi. Mereka dengan kompak mengatakan." Mengapa kau tak menolong Ibumu Fanno, mengapa kau tak menolong Ibumu...."

Suara itu semakin lama semakin menghujam kedua tellinganya, tak memberi jeda baginya untuk mendengar semuanya dengan lancar.

Rasa penyesalan menggerogoti tubuhnya, memakan paru-parunya dengan rakus hingga ia merasa kehilangan napas. Pusaran merah yang awalnya mempesona berubah jadi mengerikan, lalu mulai turun seperti corong awan gelap dengan suara guntur memekakaan telinga.

Affan berteriak ketakutan, pikirannya sudah hilang, akal sehat apapun tidak bekerja hari ini, sulur-sulur hitam lalu menyelimuti tubuhnya. Menenggelamkannya dalam kegelapan yang abadi dan nyata.

"Makan besar....makan besar...ketakutan...trauma....teruslah ketakutan....teruslah ketakutan....." Suara itu seperti muncul dalam pikiran Affan, mengusik jiwanya yang sudah tak utuh lagi. Ia berlari, terus berlari entah sampai kapanpun. Yang ada dalam pikirannya sekarang adalah dia harus pergi dari sana, harus keluar dari kabut asap mengerikan ini.

Ia merasakan tubuhnya jadi ringan, nyaris seperti terbang, suara aneh muncul kembali. "Lezattt...sajian enak, manusia punya ketakutan yang lezat..."

Dengungan-dengungan aneh sayup sayup menjauh, angin dingin kembali menerpa...tapi kali ini dari arah bawah.

Affan membuka matanya, dan sebelum ia menyadari apa yang terjadi. Tubuhnya telah menghantam trotoar, menciptakan ciprat artistik di dinding dan jalanan. Wajahnya mengurat senyum kelegaan dan matanya gelap sempurna.

Ia telah bebas dari penderitaan, ia telah bebas dari ketakutan.

Di Balik AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang