Not Alone

181 60 2
                                    

"Wajar jika kau takut, tapi itu bukan alasan yang bisa kau pakai untuk menutup diri dari dunia."

Happy reading^-^

...

"Makasih, ya!" Leta tersenyum simpul menatap Alfa.

Alfa membuka kaca helm-nya lalu mengangguk, "Iya, sana masuk!"

Prang!

Dahi Alfa sontak mengernyit kala suara berisik dari dalam rumah terdengar, "Ada masalah?" tanyanya.

"Paling ada yang gak sengaja mecahin piring." Senyuman tipis tercetak di wajah Leta, sedikit terkesan sebuah paksaan di sana. "Udah, sana pulang!" tambahnya dengan senyuman yang malah terkesan aneh di mata Alfa.

Pemuda itu menengadahkan tangannya, "HP?"

Leta menatap ponselnya dan Alfa secara bergantian. "Buat apa? Mau maling?"

Tangan Alfa sontak mendorong dahi gadis itu. "Kagak, Bego!" Dengan tidak santai ia merebut ponsel itu dari pemiliknya.

Tak lama, ia langsung mengembalikan ponsel itu. "Kalo ada apa-apa hubungin gue!" Alfa menutup kembali kaca helm-nya. "Gue duluan," imbuhnya sambil melajukan motornya membelah jalanan.

Leta melambaikan tangannya hingga Alfa menghilang ditelan jarak. Masih dengan senyumannya, gadis itu melangkah menuju pintu rumah. Namun, tepat saat tangannya menyentuh gagang pintu, senyum itu sirna.

"INI SALAHMU! MENGAPA KAU MELAHIRKAN ANAK ITU?!"

"APA KAU BILANG?! KAU YANG MEMBUATKU HARUS MENGANDUNGNYA, BRENGSEK!"

Leta menengadahkan kepalanya lalu menghembuskan napas sejenak. Apakah aku tidak bisa merasa bahagia bahkan hanya untuk satu hari? Itulah isi hatinya saat ini. Dengan keyakinan penuh, Leta melangkah memasuki tempat yang nyatanya sudah tidak layak ia sebut rumah.

Gadis itu hanya memandang lurus tanpa memedulikan pertengkaran kedua orang tuanya yang entah kapan akan berakhir.

Prang!

"INI SEMUA KARENA KAMU TERLAHIR, ANAK SIALAN!"

Leta kembali menengadah, merasakan perih di tangannya. Jika saja tangannya tak cepat, mungkin kini wajahnya sudah penuh dengan darah karena Ayah bodohnya itu melemparkan sebuah guci kecil yang terbuat dari keramik tepat ke arah wajahnya.

Prang!

Tangan gadis itu bergerak mengambil sebuah vas bunga yang tak jauh darinya lalu melemparkannya dengan asal. "Kalian yang bikin, terus gue yang salah karena lahir? Kenapa gak digugurin aja sekalian?" tanyanya menantang.

"Itu karena nenek sialanmu!"

Leta menatap sang Bunda tajam, "Jangan pernah ngomong itu lagi atau gue bikin lo gak bisa ngomong selamanya!"

"JAGA BICARAMU, SIALAN!"

"BUAT APA GUE JAGA DISAAT KALIAN GAK NGEJAGA OMONGAN KALIAN?!"

Plak!

"Turunkan suaramu!" titah sang Ayah setelah menampar pipi Leta.

"GAK AKAN!"

Leta segera berlari menuju kamarnya, napas gadis itu bergemuruh. Rasa sakit dan kecewa seolah memaksa jantungnya untuk meledak kapan saja. Ia lelah, kedua orang tuanya selalu bersikap seolah menyuruh Leta untuk membunuh dirinya sendiri. Apa salah jika dirinya terlahir?

Leta memukul-mukul dadanya, "Lo gak boleh kayak orang gila, Ta."

Setelahnya, gadis itu beranjak, menatap wajahnya di pantulan cermin. Sudah tak ada lagi tangis, yang ada hanyalah sebuah senyuman sinis yang menghiasi wajah itu. Senyuman itu semakin melebar saat melihat noda darah di sudut bibirnya akibat tamparan dari pria yang orang sebut sebagai Ayahnya.

Our GalaxyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang