Satu bulan sejak Tsukishima memulai kehidupannya sebagai manusia urban di Tokyo. Kesibukan mengalihkan hampir seluruh perhatiannya. Sedikitnya ia bersyukur dengan kondisinya saat ini, beberapa hal yang dulu menjadi beban pikirannya menghilang satu persatu.
Setiap hari Rabu dan juga Sabtu, sang kakak akan menelpon dan menanyakan kabar. Suara tangisan sang ibu selalu membuat Tsukishima memutar matanya, namun senyum mengembang setelahnya. Mengetahui masih ada yang peduli kepadanya membuat ia semakin semangat di keesokan harinya.
Musim dingin belum berakhir. Meskipun begitu, mantel tebal milik Tsukishima lebih sering tergantung di lemari. Setiap harinya ia lebih memilih menggunakan jaket yang lebih tipis dari mantel tersebut. Ia berpikir seumur hidupnya ia habiskan untuk bertahan dalam musim dingin dengan tumpukan salju setinggi betis. Musim dingin dengan angin dingin saja seperti mainan baginya.
Untuk pertama kalinya Yamaguchi mengiriminya pesan. Dan untuk pertama kalinya juga, Tsukishima dapat menjawab pesan tersebut tanpa rasa campur aduk dalam hatinya. Si kecil Hinata dan Kageyama terkadang mengiriminya pesan yang kebanyakan berisi hal-hal bodoh. Yachi, manager timnya, lebih sering mengiriminya foto-foto tentang mereka berempat. Tsukishima hanya tersenyum meskipun dalam hati kecilnya ia sedikit iri melihat mereka.
Sudah satu bulan untuknya berada disini. Berpadu dan menyatu dalam masyarakat Tokyo yang berjalan dalam roda kehidupan dengan kecepatan penuh. Agak sulit baginya untuk mengimbangi. Tetapi berbeda dengan Miyagi, Tokyo tidak pernah memberikannya waktu untuk merenung dan mengeluh. Dalam hitungan detik dia bisa kembali berlari meskipun pada awalnya ia sudah hancur dan terluka.
Ternyata benar, inilah obat yang pas untuknya.
***
Pagi hari seperti biasa, lelaki rambut pirang itu meraih kacamata yang ia simpan di meja samping tempat tidurnya. Berjalan perlahan menuju depan televisi, menyalakannya begitu saja lalu ia sendiri kembali berjalan menuju kamar mandi.
Mengusap wajahnya kasar di depan cermin. Dapat dilihat kantung matanya yang semakin parah, padahal ia sudah mengikuti saran dari rekannya untuk rajin mengompresnya dengan kantong teh, tetapi lingkaran hitam ini masih setia bergelayut di bawah matanya.
Cepat-cepat ia bersiap. Memakai pakaian paling nyaman menurutnya. Dan meraih bungkusan roti diatas lemari es. Mengunyahnya tanpa mau repot-repot mengoleskan mentega atau bahkan selai. Ia mendudukkan tubuhnya di depan televisi yang kali ini menayangkan tayangan prakiraan cuaca.
"Untuk warga Tokyo, diharapkan hari ini memakai pakaian tertebal yang dimiliki, dan jangan lupa membawa payung. Diperkirakan salju akan turun setelah pukul 5 sore. Kepada masyarakat yang memiliki kegiatan dijam tersebut dimohon untuk lebih berhati-hati."
Tsukishima berpikir sejenak. Meskipun pasti tidak akan separah di Sendai, tetapi itu bukan alasan dia untuk meremehkan musim dingin. Ia membuka lemarinya dan mengambil mantel tebal yang tergantung dengan lapisan plastik pembungkus. Melihatnya saja sudah membuat ia merasa kecil, ternyata tidak baik untuknya memakai hal yang membawa kembali kenangan yang susah payah ia lupakan.
Tangannya mengulur kedalam lemari, menggantungkan kembali mantel tersebut.
***
Pukul 6 sore, ia keluar dari sebuah kedai tempat ia dan rekannya sering makan malam. Benar saja, jalanan sudah tertutupi salju tipis. Orang-orang pun mulai membuka payung mereka dan berjalan cepat.
Tsukishima menengadah, melihat dengan jelas butiran salju yang turun perlahan. Beberapa mengenai wajahnya dan menciptakan sensasi beku. Rekan-rekannya mulai mengoceh karena tidak membawa payung, pada akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan cepat menuju stasiun.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Last Night (KuroTsuki Haikyuu Fanfic)
FanfictionAku hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk mengingat namamu. 1 jam untuk mengenal siapa dirimu. 2 jam untuk merasa bahwa kau adalah manusia paling menyebalkan dan merepotkan. 3 jam untuk melihat sisi lain dirimu. 4 jam untuk menyukaimu. Dan selamanya...