1 (+18)

2.2K 120 4
                                    


[Haechan]

Setelah ini apa lagi yang harus kulihat?

Kau yang memasangkan cincin di jari manisnya dan berkata, "Will you mary me?" Lalu membawanya lari dari segala yang mengekang kalian?

Shit! Kenapa harus begini?

Tidak, bahkan jika pada akhirnya kau akan tetap menikah dengannya dengan segala risiko di negara lain yang mengizinkan hal semacam ini, setidaknya kau harus tahu.

"Aku mencintaimu, Mark hyung."

.

[Writer]

Langkah kaki itu enggan beranjak dari sana.

Dari balik sebuah pintu yang sedikit terbuka. Ruangan di baliknya gelap, namun mata awas pria itu cukup hapal siapa dua sosok yang ada di dalamnya.

"Hyung..." lalu setelahnya terdengar suara desahan di dalam sana.

Berbalik, Haechan memegangi dadanya dan mendelik pada kegelapan ruangan itu.

Ada napas tak teratur terdengar.

Ada amarah yang benar.

Haechan harus pergi saat itu juga. Tapi ia memilih menunggu, membiarkan telinganya tersiksa sedikit. Ini sudah biasa.

"Kau semakin mahir Jaemin..."

Sedikit dadanya ia tekan. Ada yang sakit di sana.

"Mark hyung..." Setelah itu terdengar jeritan keras.

Seharusnya Haechan yang menjerit. Seharusnya dia. Dia yang sakit.

Tak lama desahan itu berganti dengan deru napas lelah dari dua bibir yang bengkak karena terlalu lama berpagut.

"You're my best bunny..."

Haechan melihatnya. Pria itu. Ia menggigit kecil hidung Mark.

"Kau nakal" ucap Mark ketika membantu Jaemin bangkit dari lantai studio latihan band mereka.

Haechan kembali ke tempat sebelumnya ia menunggu. Menutup mata, ia mengatur apa yang perlu diatur. Napasnya. Pikirannya. Jantungnya. Detak nadinya. Desir darahnya. Dan... pernyataannya.

"Tadi kau sedikit kasar hyung, holeku panas sekali." Jaemin keluar ruangan gelap itu ketika membetulkan posisi ikat pinggangnya.

"Haechan?!" Jaemin sedikit mempercepat gerakan membereskan ikat pinggangnya. "Sejak kapan kau di sini?" Na Jaemin, keyboardist band bernama Dreams itu salah tingkah. Membetulkan leher t-shirtnya yang longgar, ia menutupi kissmark keunguan di sana.

"Baru saja. Mark hyung di dalam?" Haechan menanggapi dingin.

Merasa bersalah, Jaemin hanya mengangguk dengan wajah cemas. "Haechan, jangan katakan ini pada Jeno ya? Please... just you, okay?"

Haechan mengangkat sebelah bibirnya.  Menarik napas, lalu ketika membuangnya mengangguk malas.

"Great! Kau memang bassist paling keren yang pernah kukenal. Mark hyung ada di dalam. Temui saja. Aku duluan ya." Kaki jenjang Jaemin melangkah santai–sedikit mengangkang janggal–sesekali berbalik menatap wajah tembam Haechan yang sedikit feminin dengan rambut sebahunya yang diikat ekor kuda. Pria itu menatap pria cantik tadi dalam diam.

Setelah pria yang ia anggap kurang ajar itu benar-benar lenyap, langkah Haechan mengayun mantap.

Ia harus mengatakannya sekarang.

Tidak, tidak. Ini bukan soal memberitahu Mark bahwa Jaemin sudah dimiliki Jeno dan begitupun sebaliknya. Bahwa pria bernama Lee Mark hanya figur orang ketiga dan tidak untuk selamanya. Tidak, pria bernama Lee Mark itu sudah terlalu kenyang untuk diberitahu.

Haechan ingin mengatakan sesuatu yang lain.

"Mark hyung, aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu." Pintu ruangan gelap yang kini benderang itu tertutup sekarang. Haechan berdiri gusar dengan gumaman yang sama selama beberapa waktu. "Aku bisa gila." Ia sudah akan menekan knop pintu itu. Tapi ia menahan gerakannya. "Aku tidak bisa." Langkah panjang dan tergesa. Seperti pencuri malam yang tertangkap mata penjaga. "Tidak, tidak sekarang. Aku akan cari waktu yang tepat." Ia menggumam.

Jaket kulit merahnya ia rapatkan ritsletingnya. Kedua tangannya ia satukan kemudian, bergesek-gesekan dengan gerak cepat. Membuat panas.

Lelaki itu berhenti.

"Tapi aku harus mengatakannya." Berbalik, dengan setengah berlari ia menyusuri lorong gedung yang sama yang lima detik lalu ia lewati.

"Mark hyung" Haechan tanpa sadar bergumam. Ia telah kembali berdiri di pintu geming studio latihan mereka. Meskipun kini dari dalam terdengar suara drum yang dimainkan penuh hentak. Dan Haechan memulai aktivitas yang sama seperti tadi.

"Mark hyung, aku mencintaimu." Mimik wajah Haechan sudah seperti berganti topeng berkali-kali.

"Mark hyung, sebenarnya aku—" Ah, terlalu culun.

"Mark hyung, tahukah kau? Betapa sebenarnya hatiku memendam rasa yang begitu menggebu padamu?" Tidak, sok dramatis.

"Hyung, dengar, aku mencintaimu." Haechan menggaruk kasar rambut ekor kudanya yang sebenarnya baik-baik saja. Tidak gatal sema sekali.

"Yo! Mark Hyung! Mau dengar sesuatu? Aku mencintaimu, my man!" Huh, sok asik.

"Hyung, begini, ah, tidak, lain kali saja. Sampai jumpa." Pengecut. Haechan benar-benar ingin pergi sekarang. Sampai suara drum bising dari dalam studio itu tiba-tiba berhenti.

Hatinya tergelitik. Saat sejenak kemudian beberapa dentingan keyboard terdengar dari dalam.

Lalu,

Klik

Gagah. Haechan masuk perlahan. Memberanikan dirinya untuk menampakkan diri.

"Hai Haechan" Pria itu hanya menggunakan kaos putih tipis. Ini musim dingin terburuk yang nyaris membunuh Haechan dalam udara dingin. Entah Haechan yang memang tak tahan dingin, atau panas neraka membekap pria ini?

"Kau sudah makan malam?" Mark terbahak setelah bertanya demikian. "Bodohnya aku bertanya, Tuan Lee Donghyuck belum makan malam jam segini?" Pria itu melirik jam tangannya. Jarum pendeknya sudah bertengger di angka sebelas sekitar sepuluh menit yang lalu. "Pipi tembam dan perut karet sepertimu pasti sudah makan besar berjam-jam yang lalu." Hanya tawa renyah Mark yang menggema di sana. Haechan menatapnya diam saja. Entah meratap?

Mark menyadari bahwa hanya ia yang menikmati leluconnya. Sementara diamnya Haechan dibekap hening malam studio latihan mereka. Mark jadi tak mengerti harus berbuat apa. Bassistnya di band Dreams ini seringkali tak tertebak arah pikirannya. Kadang menyenangkan, tapi kadang juga menyebalkan.

Membuat Mark ingin tahu.

Ingin menebak-nebak.

Tapi tetap saja tak tertebak.

"Ada apa?" Mark berdiri dan mengusap-usapkan kedua telapak tangannya gugup. Seakan menyentuh keyboard Jaemin adalah sebuah dosa fatal.

"Kau lapar?" Haechan justru balik bertanya. Mark mengernyit, lalu kemudian menyadari. Pria yang ia ajak bicara adalah Lee Donghyuck. Tahu artinya itu? Si perut karet, yang terkadang cerewet, wajah angel dengan kepribadian evil dalam satu paket.

Tersenyum, Mark mengangguk sekilas. Lalu meraih tangan Haechan, dan mencengkeramnya dengan mulus. "Mau temani aku makan?"

Haechan tidak tahu harus senang atau bingung dengan ajakan itu. Tapi ia mengikut saja.

Mengaluri jalanan sepi sekitar basecamp band mereka.





~つづく~

Devotion [MARKHYUCK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang