3 (+18!)

1K 94 8
                                    

[Haechan]

Jaket panjang putih milik Mark kuselimutkan ke tubuhnya yang kemerahan karena soju tadi.

"Jaemin-ah... jangan pergi..." Selalu begitu. Bagimu hanya ada pria itu di dunia ini. Hanya dia pria yang membuatmu tertarik bukan? Sebenarnya kau bukan gay, aku tahu itu. Hanya kecintaanmu yang terlalu lama kau pendam, terlalu lama kau tanam, membusukkan akal sehatmu, benar kan?

Aku tidak tahu apa maksud ciumanmu tadi, juga ciuman lima tahun lalu. Ciuman pertamaku. Kau terpeleset dan tidak sengaja jatuh di atasku. Alasan bodoh, aku tetap jatuh cinta.Tidak, itu tidak seperti yang barusan kau lakukan padaku. Ciumanmu lima tahun lalu hanya sekadar friksi antar dua bibir yang aku yakin kau juga tak ingin. Tapi sama sepertimu pada Jaemin. Mark hyung, aku juga tak punya pilihan selain mencinta, mencinta dalam diam.

Ini? Pria tadi sudah membuat 'tanda'-nya di dadamu. Kenapa kau begitu lemah menerima takdir? Kau pria gagah. Seharusnya kau bisa cukup berwibawa untuk pergi memilih manusia lain. Bukan si brengsek Na Jaemin yang nyaris menyamakanmu dengan masturbasi. Hanya pemuas birahi. Kau bisa pilih aku jika tak ingin mencari terlalu jauh. Aku akan membahagiakanmu.

Kulitmu seperti memanggilku. Maaf aku menyentuhmu tanpa izin. Aku hanya akan menyentuh sedikit. Hanya pipimu. Lehermu. Dan 'tanda' Jaemin di dadamu.

Kau menguap. Setelah itu mulutmu sama sekali tidak mengatup. Sama sekali tidak keren. Tapi celanaku sudah banjir dari tadi. Kau benar-benar jahat.

"Jaemin-ah..." Dan kenapa hanya pria itu yang namanya ada di dalam kepalamu?

"Coba, Haechan! Hae-cha-n. Haechan-hik!" Kau membuatku gila. Tapi itu sudah bukan rahasia bukan? Setidaknya untukmu. "HIK!" Kenapa matamu tiba-tiba terbuka lagi?!

"Jaemin-ah..." ucapmu dengan pandangan semakin sayu mengarah padaku. Kau mendekat, tanganmu menyentuh pelan bibir bawahku. Menelusurinya dan menekannya pelan. "Bibirmu seksi..." bisikmu di telingaku. Aku sudah kehabisan air ludah untuk menanggulangi rasa tegang.

Sendu tatapanmu, kau menempelkan keningku ke keningmu, tanganmu membelai rambutku. Melepaskan kuciranku. "Matamu juga menggoda..." Sekarang kau mendesah di depan mataku. Harusnya aku menyalakan lampu tadi.

Kau melepaskan tanganmu dan tatapanmu dariku—apa kau dengar hatiku menjerit lega sekaligus kecewa dalam satu waktu?—Bangkit terduduk menyender di sofa.

"Mau kuambilkan minum?" Aku bertanya padamu pelan. Aku ragu alkohol sudah melepaskan keseluruhan influensnya dari sistemmu.

Menggeleng kau sekilas. Lalu menepuk-nepuk bagian sofa yang kosong. "Duduk..." Demikian kau memintaku. Kutengok tubuhmu yang diselimuti jaket panjang itu, menengok sedikit tonjolan daging itu. Hingga membuat cegukanku kembali.

Pelan kulihat kau memperhatikanku yang duduk hati-hati di sampingmu.

Pada saat bersamaan kita menengok. Untuk beberapa saat aku percaya bahwa kau menatapku dengan tatapan penuh makna. Sama seperti aku memandangmu selama ini.

Cegukanku sembuh oleh bibirmu. Kau yakin? Sekarang lidahmu mengajak bergumul? Baiklah, aku ikut.

Berapa menit tadi? Sampai kehabisan napas kita berdua. Sampai kehilangan akalku padamu.

"Hyung, aku ingin jujur tentang sesuatu."

Kau mengabaikan kalimatku dan mulai mendekat lagi. Kini leherku. Hingga aku mendesah. "Hyung... Ak... ku..." Airku sudah keluar lagi. Aku benar-benar payah.

Entah sejak kapan kau menelusupkan telapak tangan kekarmu ke dalam celana jeansku.

Sekarang sudah terlepas sampai lutut. Kau mendorongku. Membaringkanku ke sofa. Beberapa titik sensitif kau jadikan tempat berdansa untuk lidah dan bibirmu.

Bolehkah? Tidak apa kan kalau tanganku juga ikut bermain di dalam boxer hitammu? Wajahmu tampak penuh kesenangan. Apa aku bermain cukup baik?

Sweatshirt apek itu terlempar ke lantai. Kau yang membukanya, melemparkannya kemudian.

"Hyung, aku tidak yakin."

Kau menatapku meminta persetujuan untuk melepas satu-satunya jalinan benang yang masih terpasang melindungi milikku yang penting. Aku merasakan kulit kesejatianmu di pahaku. Ke mana perginya boxer hitammu?

Mata tegasmu menatapku.

"Baiklah."

Kau melepasnya.

Setelah itu aku melakukan seperti yang beberapa jam lalu Jaemin lakukan, menjerit karena permainan pinggulmu. Tanganmu meremas tanpa henti kejantananku dan kissmark terus tercipta sepanjang permainan kita.

"Jaemin..."

Sakit, kau tahu? Kenapa nama itu yang kau desahkan saat klimaks pertama kita? Yah, baiklah, aku memang sudah tadi, tapi kau tidak perlu menghukumku dengan menyebut namanya sekarang kan?

Aku ingin marah. Tapi tidak mungkin pergi. Kita masih menyatu, daging tumpul itu masih berada di dalamku.

"Hyung... aku hanya mengatakan ini sekali... dengarkan baik-baik..."

Tidak kusangka kau patuh. Kau berhenti menarikan tubuhmu dan tubuhku yang menyatu.

"Aku mencintaimu..." bisikku.

Kau diam.

Dan mengecup puncak kepalaku kemudian.

Pelan tangan itu menyelipkan sejumput rambut yang menghalangi telingaku "Aku juga..." Lalu kau menciumnya.

Tubuhku basah oleh keringat dan mudah sekali aku ini keluar.

Pada detik itu, kurasakan ada yang membanjir di dalamku. Lemas kita berdua, tubuhmu menindihku dan kita melekat, oleh keringat. Matamu sudah menutup, benda tumpul itu belum keluar.

"Mark hyung...?" Aku mengusap rambutmu yang penuh keringat.

"Mmm?" Hanya gumaman tidak nyaman.

"Ah... tidak..."

Aku mengecup sudut bibirmu.

"Tidurlah..."

.

[Writer]

Pria itu berusaha keras dengan selembut mungkin. Hingga kelelakian si pria yang ada di atasnya tercabut seutuhnya.

Yah, lepas, tapi lelaki dominan itu justru mengeratkan tautan tubuh mereka.

"Aku harus pergi." Gumaman lirih. Mendorong perlahan tubuh di atasnya, ia menurunkan kaki kanannya, bergeser sedikit, lalu perlahan menurunkan tubuh besar dan kekar pria dominannya ke samping.

Did it! Ia berhasil.

Tangan kekar itu sudah memutih buku-buku tangannya karena memeluk pria itu terlalu erat.

Disingkirkan perlahan tangan itu. "Aku tidak ingin kau tahu." Pria itu bangkit untuk duduk. "Malam tadi indah untukku. Tapi aku tahu, bagimu tubuhku adalah Jaemin—tidak, aku mengerti." Ada setitik air menggumpal di pelupuk mata pria itu. "Cinta adalah sayap-sayap yang menggerakkanmu untuk berkorban. Dan itu yang akan kulakukan."

Pria yang diajak bicara hanya menutup mata, dengan mulut menganga.

Si rambut panjang mengusap telinga prianya. "Maaf tadi malam aku menjerit terlalu kencang," bisiknya.

Samar-samar suara jam dinding terdengar memanggil.

"Sudah jam tiga dini hari. Sebaiknya aku pergi." Lelaki itu mengecup kening prianya lembut. "Terima kasih, untuk kegilaan tadi malam. Tapi Hyung, berjanjilah untuk melupakannya."

Langkah itu sedikit gontai. Ia berpakaian. Tinggal setengah selera hidupnya yang tersisa. Pria pulas itu menyedot setengahnya tadi malam. Dan mungkin sedikit demi sedikit lewat penantian rahasia selama lima tahun. Aku sudah habis, pikir Haechan.

Kau menyebut pria itu bodoh.

Tapi cinta bukan hitung-hitungan jual beli. Ini bukan soal untung rugi. Tapi seberapa besar kau bisa mengerti, menyayangi, tanpa memiliki.





~つづく~

Devotion [MARKHYUCK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang