9

668 62 12
                                    

[Haechan]

Orang-orang rela mengeluarkan uang lebih untuk mempercepat perolehan sesuatu.

Kita hidup di masyarakat yang mengenal keinstanan sebuah produk sebagai daya jual yang tinggi. Tidak masalah. Semua orang punya pilihan. Tapi pada saatnya menunggu adalah seni. Ada untuk dipelajari, dinikmati dan dihayati. Seperti hari ini. Dan waktu-waktu dimana kau tak di sisi. Entah yang sudah lalu, atau mungkin yang akan datang. Semoga untuk yang akan datang tidak terlalu lama.

"Tumben kau yang memasak? Jaemin mana?" Suara sember milik vokalis kami yang akhirnya suaranya kembali. Suara Renjun saja bisa kembali, lalu kau, Mark hyung? Kapan?

"Pergi makan malam dengan Jeno. Memangnya mereka tidak bilang padamu?" Apron Jaemin kekecilan di tubuhku. Memangnya aku sudah sebesar itu ya? Setiap bercermin kadang terkejut dengan pertumbuhanku sendiri. Jadi takut kalau-kalau nanti saat kau pulang aku jadi seperti beruang. Apa kau bisa mencintai beruang?

"Hei, jangan melamun!" Renjun sigap mematikan kompor. Penggorengan itu asapnya mengepul. Gosong sudah makan malam kami. Kami saling tatap. Ia tahu kalau menyalahkanku yang akan diterimanya hanya tatapan sinis dariku–ekhem–yang menurutnya lebih membuat ngeri.

"Kita delivery saja. Bereskan, jangan sampai ketahuan Jaemin kau merusak penggorengan kesayangannya." Pria ini sudah kembali cerewet dalam sekejap setelah suaranya kembali. Memerintahku dengan sesuka hati.

Sejak kau pergi, aku lebih banyak membatin, merenungi nasib sendiri. Paranoid kalau kau ingkar janji. Apalagi setelah surat itu, kau seperti kehabisan teknologi untuk mengabari. Kenapa tidak pernah kirim pesan obrolan? Atau telepon aku sesekali? Atau surat dengan burung merpati? Kanada itu di ujung lain bumi. Tapi tidak bisakah mengunjungi barang setahun sekali?

"Kau mau pizza atau ayam goreng?"

Mataku mengerjap, tepukan ringan Renjun menyadarkanku. Aku sedikit meninggi, tapi kontras dengan Renjun. Badanku-pun sedikit berisi. Sedangkan Renjun kecil tipis seperti triplek.

Aku memperhatikannya bersandar ke dinding, gagang telepon di telinga kiri. Bahagia sekali hidupnya begitu suaranya kembali. Aku turut senang.

"Pizza saja. Ingin makan makanan Italia." Sebenarnya menghindari makanan berbau Amerika. Karena mengingatkan padamu. Persoalan lama yang tidak ada pemecahannya kecuali satu. Kau tepati janji dan pulang. Tapi tidak jadi nyata juga.

"Embusan napas berat yang barusan? Untuk Mark hyung ya?" Tebak Renjun begitu aku ikut duduk di depan TV dengannya. Dapur sudah rapi. Persoalannya nanti kalau Jaemin menanyai kenapa ayam segar habis belanja tadi pagi pindah alamat ke tong sampah. Semoga tidak diamuk sampai mati.

"Belum bergeser sedikitpun." Lalu hening. Ketiga temanku yang lain sudah kehabisan kata-kata untuk menceramahi. Jangan bersedih atau tenang saja, si alis camar itu pasti menepati janji terkesan sudah basi. Aku memang tak pernah ketahuan menangis. Tapi orang-orang tahu kalau aku memendam kekesalan sendiri. Karena setiap keluar dari toilet pasti gulungan tisu habis atau mereka menemukan noda darah di sikat gigiku karena menyikat gigi terlalu kasar.

Mode distraksi. Itu istilah mereka untuk kebiasaanku.

Bel dorm kami berdenting tiga kali. Mulut Renjun sudah membuka untuk memintaku mengambil pesanan. Tapi tidak jadi. Mungkin simpati pada wajahku yang kelewat kusam setiap kali mengingatmu.

Tidak sampai lima menit pizza pesanan kami sudah tersedia di meja makan. Renjun menyambar bagian yang ingin kumakan. Yang terlihat paling sedikit bawang bombaynya.

"Jangan pasang tampang merengut begitu jika kau akan makan."

Aku mendengus, tersenyum dipaksakan.

Devotion [MARKHYUCK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang