[Jeno]
"Tentu saja kita akan sukses. Bersama sahabat sepertimu, apa yang tidak bisa aku lakukan?"
Itu kalimatmu. Bertahun lalu. Rasanya baru tersadar bahwa kita menua tanpa terasa.
Lampu hijau. Bodoh sekali melamunkan pengkhianat sepertimu sampai diklaksoni beberapa mobil. Pengkhianat dan sahabat. Aku baru menyadari juga betapa mudahnya bagimu untuk mendapat dua status itu kini.
Aku butuh nikotin.
Asap mengepul. Aku sedang tidak ingin membentuk macam-macam dari asap putih penuh racun itu. Sudah jarang aku mengisap rokok seingatku, sejak si gembul Haechan datang. Dia tidak pernah melarang. Hanya setiap kali akan mengeluarkan sepuntung tembakau itu, ia akan menatapku teramat dingin dan berkata, "Kau yakin?" ketika memandangi puntung rokok dan mataku bergantian dengan tatapan bijak nan galak selayaknya bapak.
Dan aku akan selalu mengalah. Lagipula asma sejak awal membuatku kalah.
Setidaknya jikapun aku merokok, hanya di depan Jaemin. Ia tidak pernah protes, justru ikut menikmati setiap kali aku membuat macam-macam bentuk dari kepulan di mulutku.
Kenangan.
Mungkin sekarang yang paling Jaemin ingat adalah tamparanku.
Tidak masalah.
Maka yang akan aku ingat nanti adalah pengkhianatannya.
Dorm? Kenapa menyetir kemari? Mondar–mandir di jalanan kota Seoul dengan jendela terbuka dan asap rokok di tangan? Takdir sepertinya menjalankan misinya sendiri tanpa aku tahu. Aku merasa tetap harus kembali.
Yakin. Mereka pasti sedang khawatir di dalam apartemen minimalis kami.
Kulirik ponselku. "Empat belas panggilan." Jaemin dan Mark hyung bersaing. Tujuh panggilan dari Jaemin dan enam panggilan dari Mark hyung. Satu panggilan dari Renjun. Haechan? Dia tidak terlalu peduli mungkin. Selama ini aku selalu berpikir yang ia cintai hanya makanan dan koleksi game-nya, tidak sadar kalau Mark hyung nyelip di hatinya.
Tidak sadar juga, bahwa sahabatku itu telah menyenggolku keluar dari penguasaan hati Jaemin.
Benar-benar pria yang tak tertebak.
Mobil Ford-ku yang cukup lebar tidak kekurangan lahan parkir. Satu-satunya yang membuatku tertahan lama di tempat ini adalah hatiku. Kegundahan yang merayap perlahan. Setiap bagian darinya disemati duri yang membuat hatiku berdarah-darah. Hiperbolis.
Kujatuhkan puntung rokok kelimaku ke tanah. Menginjaknya. Membuat baranya padam. "Baiklah Lee Jeno, kau harus menyingkirkan barang-barangmu." Lalu melangkah tegap
Dengan kesakitan di tiap inci jarak berkurang.
***
[Renjun]
Hening.
"Kau mengatakan apa saja?" Tenggorokanku masih sakit setiap kali bicara. Tapi untuk saat ini, akan lebih sakit lagi jika aku tidak bertanya.
Sakit oleh penasaran.
"Yah, aku keceplosan, Renjun. Maaf."
Kau tidak perlu minta maaf padaku, Haechan-ah.
"Memang bilang apa saja?" Aku mengutuki wajah Haechan yang terlihat begitu pasrah jika harus dihukum seumur hidupnya untuk seorang pria yang baru saja membuat keadaan band yang berdiri selama tujuh tahun harus bubar karena sebuah rahasia yang tak benar tersimpan.
Innocent face. Jika begini aku tidak tega, bahkan untuk sekadar bertanya apa saja yang ia katakan–yah, jika ia tak juga menjawab.
"Entahlah. Jeno mendesakku terus sesaat sebelum tampil, dan yang aku ingat aku sangat kesal. Jadi, yah, aku katakan bahwa, mereka mulai menjalin hubungan sejak kau sakit dan Jeno begitu sibuk mengurusmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Devotion [MARKHYUCK]
Fanfiction[R E M A K E] Ia menyimpan satu pelajaran yang ia patri dalam hati. Cinta tanpa memiliki hanya akan menjadi kisah manis yang menyesakkan hati. Dan memiliki tanpa cinta hanya kebusukan yang dihias tanpa arti. Ia mungkin mati jika sekali lagi 'dia' pe...