💔Membayar harga 💔

36 8 0
                                    

Berulang kali gadis itu memberontak, menangis dan juga memohon agar tidak dibawa, tapi tidak ada yang perduli kedua lelaki berotot itu terus menyeret sang gadis untuk menuju mobil sedan hitam. Asmono hanya melihat anak gadisnya dibawa begitu saja tanpa ada rasa bersalah atau perasaan apapun. Dia melihat kedalan amplop cokek yang diberikan kedua lelaki berotot tadi, lalu tersenyum senang. "Ada gunanya juga anak pembawa sial itu," ujarnya lalu masuk kedalam rumah.

**
Lail terus menangis sejak dia diseret kedua lelaki berotot itu hingga dia sampai dikamar rumah besar itu. Sungguh tega ayahnya menjual dirinya kepada seorang lelaki bangkotan yang sudah bau tanah hanya untuk pelampiasan hawa nafsu saja. Lail terus menggedor-gedor pintu itu minta dikeluarkan, dia tidak ingin ada ditempat terkutuk ini. Dia ingin bebas seperti para remaja lainnya yang bercengkerama dengan teman seusianya, tapi sayangnya beginilah nasibnya. Ayahnya sendiri tega menjualnya demi uang untuk bermain judi, beruntungnya anak remaja diluar sana yang masih bisa merasakan kasih sayang orangtua mereka. Atau yang sedikit lebih sadis adalah tidak diinginkan orantua mereka, tapi tidak sampai dijual sebagai budak pemuas hawa nafsu.

Pintu itu terbuka, Lail membuka matanya yang sembap perlahan. Seorang lelaki tua, berkepala botak masuk kedalam ruangan itu. Lail spontan terbangun, lalu dengan cepat menusukkan pisau ke perut kakek tua itu saat dia sudah cukup dekat. Lail tidak sudi disentuh olehnya, untung dia selalu membawa pisau pemberian ayahnya dulu ya setidaknya saat ayahnya masih menyayanginya untuk berjaga-jaga. Rintihan kesakitan terdengar dari kakek itu, dia berguling di lantai dengan cairan merah yang terus keluar dari pisau yang menusuk perutnya. "Aaa, kurang ajar kau anak sial*an kurang ajar," jerit si kakek tua. Mendengar rintihan tuannya, para lelaki berotot penjaga si kakek langsung masuk ke kamar dan melihat apa yang terjadi, lalu membantu tuannya berdiri dan langsung memanggil dokter. Pintu itu ditutup lagi.

Lail terguncang tidak percaya apa yang baru saja dia lakukan, dia menusuk seseorang. Tapi tidak apa toh dia hanya lelaki bejat yang sudah bau tanah bukannya tobat malah menjadi-jadi saja kelakuannya. Lail melihat telapak tangannya yang penuh darah, lalu menangis. Tangisan ketakutan dan frustasi menjadi satu.

**
Lail diseret keluar dengan kejam oleh kedua lelaki itu, di lemparkan ke lantai tepat dibawah kaki sang kakek tua. Lail cukup heran kakek tua itu masih hidup, kenapa tidak mati saja. Apakah luka yang dia tusukkan kurang dalam sehingga kakek ini tidak mati, "Beraninya kau melukai ku! Aku menghukummu tidak boleh makan dan minum selama satu minggu. Dan aku akan mengurungmu di ruangan penuh binatang berbahaya," ucapnya dengan senyum miring yang menyeramkan. Setelahnya kedua lelaki itu meyeret lagi Lail menuju sebuah ruangan dengan pintu berwarna hitam, lalu memasukkannya kedalam sana dan menguncinya. Ruangan itu cukup gelap, penerangan satu-satunya hanyalah sinar yang masuk dari celah fentilasi udara berjeruji itu. "Aku harus cari cara keluar dari sini," kata Lail dalam hati.

Dia mengeluarkan pisau yang dia sembunyikan didalam jaketnya, lalu mencoba membuka pintu itu saat tengah malam. Berhasil pintu itu terbuka, Lail memutar kenop pintu perlahan, dan melihat sekitar. Lelaki berotot itu tengah tertidur tidak jauh dari pintu tempat Lail dikurung, Lail melangkah keluar dengan hati-hati. Mencari jalan keluar dari penjagaan rumah itu, dengan sembunyi-sembunyi. Lain menghindari semua CCTV yang ada, dan dia berhasil keluar melalui belakang walau harus melewati pagar dengan pecahan kaca diatasnya.

Celana Lail robek, siku Lail berdarah dan tergores begitu juga dengan dahinya.

**
Beberapa tahun kemudian...

"Tidak bisakah kamu hilangkan dendam itu kamu telah menbunuh si botak bukan?" tanya Bian pada Lail. Lail hanya diam tidak menjawab, namun wajahnya terlihat menahan amarah dan benci.

Lail melihat arlojinya, masih ada beberapa jam lagi. Lail kemudian bersiap-siap, dia memasukkan benda untuk malam ini. Bagaimanapun dia tetap ayah Lail, dan Lail masih ingat itu. Karenanya Lail tidak akan menyiksanya terlalu lama, hanya beberapa jam saja. "Sudahlah setelah ini aku juga akan menebus dosaku, jangan khawatir. Jaga dirimu sahabat yang sudah aku anggap saudara," Lail menepuk pundak Bian. Bian lalu memeluk Lail, lalu menangis.

Lail menjalankan mobilnya. Dia melihat pintu rumah yang sudah sejak lama tidak dia lihat, dengan kunci duplikat Lail dengan mudah membuka pintu itu. Dia melihat seisi rumah, foto keluarga yang telah berdebu. Air mata Lail tidak terasa menetes begitu saja, Lail langsung menghapusnya.

Wajah itu sudah sangat tua, namun tidak ada raut dosa atau rasa bersalah disana, dia tertidur sangat lelap. Lail meneliti wajah itu sekilas, lalu menyiramnya dengan air keras. "Aaaa," Asmono menjerit kesakitan. Dia membuka matanya dan melihat seorang wanita berbaju serbah hitam. "Halo ayah lama tidak berjumpa," ujar Lail lalu dengan cepat menerjang dan mengikat Asmono. "Tenang saja aku tidak akan membuatmu tersiksa layaknya kamu membuatku tersiksa," Lail mengambil sebuah pisau belati. "Aku hanya akan membiarkan mu mati kehabisan darah," Lail tersenyum miring. "Kamu harus membayar dosamu Ayah, atas apa yang kamu lakukan padaku," Lail mengoleskan pisau itu ke wajah Asmono. Dan Lail menusuk Asmono dengan pisau itu, cairan kental berwarna merah keluar dari sana. Lail mengambil kursi dan melihat Asmono merintih tanpa suara karena mulutnya ditutup.

Lail mengoyang-goyangkan tubuh Asmono yang tidak bernyawa lagi, "Semua telah berakhir, akhir keluarga kita begitu sadis," Lail menangis.

'Dor' Lail mengakhiri hidupnya sendiri.

The Slice Of Life (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang