💔Iblis berstatus malaikat💔

65 9 5
                                    

Semua Ibu adalah malaikat. Namun apakah hal itu akan tetap berlaku jika ibunya mampu membunuh anaknya sendiri demi kesenangan duniawi?

**

"Jadi mau Ibu apa?" tanya Nindi dengan air mata yang mendera.

"Berikan ginjalmu."

**
Eva--Ibu Nindi membawa Nindi ke sebuah rumah besar yang catnya didominasi warna abu-abu setelah dia menyetujui akan memberikan ginjalnya. Nindi mengikuti langkah Eva menuju kedalam rumah tersebut. "Brasga, Brasga," teriak Eva. "Aku Membawa yang kau minta."

Seorang pria bekepala botak keluar dari sebuah ruangan dan menuruni anak tangga. Dia membuka sarung tangannya yang berwarna merah, lalu memasukkannya ke saku bajunya yang berwarna putih. Brasga meneliti Nindi dari ujung kaki sampai ujung kepala, kemudian tersenyum memperlihatkan gigi emasnya. "Bagus, bagus," puji Brasga.

Nindi kemudian dipaksa masuk ke sebuah ruangan serba putih. Brasga menyuntikkan obat bius ke lengan Nindi tanpa aba-aba, Nindi meringis menahan ngilu. Lalu belum sempat obat bius itu bekerja Brasga langsung menggunakan sarung tangannya kembali lalu mulai membedah perut Nindi dengan asal. Brasga memang pernah kuliah kedokteran namun dia tidak lulus menjadi seorang dokter.

Nindi menjerit saat perutnya dibedah, air matanya mengalir deras. Eva dengan cepat membekap mulut Nindi dengan sebuah kain, takut merusak konsentrasi Brasga dan Brasga marah terhadapnya. Setelah selesai Brasga menjahit perut Nindi dengan tidak hati-hati, selesai perutnya dijahit Nindi pingsan, obat bius itu baru mulai bekerja.

**
"Bagus ini uang yang aku janjikan," Brasga memberikan amplop berwarna putih kepada Eva. Eva melihat kedalan amplop tersebut sambil tersenyum senang.

"Apakah bonus yang kau janjikan juga ada disini?" tanya Eva.

"Tentu."

Nindi membuka matanya perlahan, dia bangun perlahan. Eva memasukkan amplop kedalam tasnya, lalu dengan cepat menyeret Nindi keluar dari sana.

"Andai kau punya lebih banyak ginjal untuk aku jual," ucap Eva setelah masuk kedalam mobil.

Hati Nindi sakit mendengarnya, apakah baginya hanya organ dalam tubuh Nindi yang penting untuk ibunya itu? Apakah dirinya tidak penting? Betapa benci Eva terhadap Nindi. Sejak kepergian Pratmono Eva berubah dari ibu berhati malaikat menjadi iblis tanpas kasih.

**
Dengan kasar Eva mendorong Nindi keluar dari dalam mobil setelah sampai di depan rumah, lalu mobil itu dengan cepat pergi lagi. Nindi masuk kedalam rumah dengan tertatih, sepertinya efek obat bius itu sudah habis. Dan sekarang jahitan bekas operasi tersebut terasa sangat nyeri, dan juga sekarang Nindi harus hidup dengan satu ginjal. Sesampainya di kamar Nindi langsung memeluk foto almarhum ayahnya, sambil menangis. "Aku rela memberikan apapun untuk Ibu agar Ibu bahagia walau nyawa taruhannya."

"Woi buka woi." Gedoran pintu terdengar dari luar rumah, dengan cepat Nindi bangkit walau sakit jahitannya terasa. Nindi membuka pintu itu, lalu dengan cepat menyanggah badan Eva yang hampir terjatuh ke lantai. Nindi membawa tubuh Eva menuju ke kamarnya, lalu menyelimutunya.

Eva membuka matanya, lalu memijit pelipisnya kepalanya masih terasa sangat pusing. Nindi meletakkan teh hangat ke nakas dekat tempat tidur Eva lalu keluar. "Bu Nindi udah siapin makanan buat Ibu, Nindi berangkat sekolah ya Bu," Nindi mengulurkan tangannya hendak bersalaman namun Eva malah membuang muka. Dengan pasrah Nindi keluar dari kamar lalu berangkat.

Eva meminum sedikit teh yang Nindi buatkan lalu dia buang ke lantai, makanan yang ada ditudung saji pun tidak dia sentuh.

**
Dengan cemas Nindi menunggu Eva, ibunya pulang ke rumah. Ini sudah hari ketiga sejak ibunya pergi dan tidak ada kabar sama sekali. Sejak pulang sekolah Nindi tidak menemukan ibunya dia suah pergi entah kemana. Berulang kali Nindi menghubungi nomor hp Eva namun selalu tidak aktif.

**

Seminggu kemudian...

Eva masuk kedalam rumah setelah seminggu dia tidak ada kabar sekarang dia pulang.

"Ibu," air mata langsung mengalir dari pelupuk mata Nindi. "Alahamdullilah Ibu baik-baik saja, Nindi kira Ibu kenapa-kenapa jadi gak ada kabar."

"Jadi kamu doain saya kenapa-kenapa ya!" bentak Eva.

"Enggak gitu Bu maksud Nindi."

"Halah sudahlah, kamu kan pernah bilang akan memberikan apapun yang saya mau asal saya bahagia. Saya mau minta uang sama kamu tapi kamu gak bisa kasih karena kamu pelajar, kamu juga gak bisakan membuat bapak kamu hidup lagi. Jadi saya minta mata kamu."

'Deg'
Nindi tidak percaya bahwa Eva akan meminta kedua bola matanya, "Tapi Bu."

"Oh yaudah kalau kamu gak mau kasih artinya kamu enggak sayang sama saya, dan semua omongan kamu cuma bohong aja. Lagipula jika suami saya enggak menyelamatkan kamu dari kecelakaan waktu itu pasti sekarang dia masih hidup. Kamu yang telah membunuh suami saya!" Eva menjambak rambut Nindi, menamparnya, dan juga memukulinya.

"Iya Bu, iya. Nindi akan kasih bola mata Nindi," ucap Nindi. Kemudian jambakan, tamparan, dan pukulan itu berhenti.

"Bagus, dari tadi dong jadi kan saya gak perlu capek siksa kamu. Ayo kita pergi," Eva langsung menyeret Nindi.

**
Kali ini Eva mengajak Nindi ke rumah sakit. Lalu mereka menuju ke ruangan dokter, Nindi disuruh untuk menandatangani sebuah surat yang berisi tidak ada paksaan dalam donor ini. Masih ada rasa takut dalam diri Nindi namun dia paksakan demi ibunya, ini yang ibunya minta jadi dia harus turuti.

Setelah selesai operasi donor mata itu, Nindi dirawat beberapa hari untuk proses pemulihan tidak ada Eva disana, hanya ada suster yang menjaganya. Dia menghilang setelah operasi itu, Nindi selalu putus asa saat dia tidak lagi bisa melihat. Bahkan untuk ke kamar mandi saja membutuhkan orang lain, setelah itu Nindi pulang diantarkan oleh taksi yang dipesan pihak rumah sakit.

Dia membiasakan diri untuk mandiri, karena sekarang dia tidak lagi mempunyai mata.

**
Eva sedang menyalakan televisi di apartemen yang dia sewa. Tidak terbesit sesikitpun dalam dirinya untuk menjenguk anaknya, atau rasa bersalah yang hinggap. Mata hatinya telah buta oleh rasa benci, hingga melupakan kodrat ibu pada anaknya.

Malamnya badan Eva menggigil, padahal cuaca tidak sedang dingin. Penghangat ruangan juga sudah dinyalakan, tapi tetap saja dingin itu masih terasa. Tiba-tiba angin kencang menerpa jendela dan mendobrak jendela apartemen itu, Eva dengan masih menggunakan selimut berdiri dan menutupnya. Lalu kemudian muncul cahaya putih yang sangat menyilaukan, seketika Eva tidak sadarkan diri.

Dia berada di sebuah ruangan serba hitam, sosok itu tengah menunggu. Dia memunggungi Eva, dari punggungnya saja Eva tau bahwa itu adalah suaminya. Eva berlari dan ingin memeluk lelaki itu namun jarak mereka semakin jauh, semakin Eva mengejarnya semakin jauh pula sosok itu pergi. Wajahnya terlihat sedih dan kecewa tanpa kata Eva seperti paham apa yang ingin dia sampaikan.

Eva terbangun dengan keringat bercucuran, dia berdiri dari lantai dingin di bawah jendela itu. Seketika rasa bersalah itu hinggap, dosa yang dia perbuat pada Nindi seperti layar lebar yang diputar di hadapannya. Tidak akan menyangka cara sang pencipta menyadarkan umatnya.

**
Eva langsung bergegas turun dari mobil, dia heran kenapa ada bendera merah dan kuning di depan rumahnya. Eva ketakutan, takut dia tidak sempat untuk memperbaiki semuanya. Dan benar saja ketakutan Eva menjadi kenyataan, dia melihat Nindi telah terbujur kaku di sana, dan sedang dibacakan yasin oleh para orang lainnya. Eva terduduk, tubuhnya lemas dan lunglai, dia memandangi wajah polos itu. "Tadi waktu saya mau mengantarkan surat peringatan dari sekolah Nindi sudah terbujur kaku dengan luka bakar disekujur tubuhnya. Dapur Ibu juga sebagian tetbakar," kata teman sekelas Nindi sambl terisak.

Dengan cepat Eva menuju ke arah dapur, mengambil pisau dapur lalu menusukkan pisau itu ke dirinya sendiri, tidak ada yang berani mendekat takut. Lalu Eva sudah tidak bernyawa menyusul anak dan suaminya.
**

Penyakit hati salah satunya adalah benci, jika terlalu benci takutnya derita yang akan ada sampai akhir nanti.

The Slice Of Life (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang