Tamparan pipi mendarat dengan meninggalkan bekas lima jari di pipiku. Aku tersungkur karena kerasnya tamparan itu, kemudian Ayah memukulku dengan tongkat panjangnya. Ibuku hanya melihatku dengan tatapan sinis, begitu juga dengan Kakakku. Semua orang di rumah ini membenciku, awalnya mereka yang menyayangiku berbalik jadi membenciku. Berita heboh yang menggemparkan seisi rumahku mengubah kasih sayang mereka menjadi kebencian, aku telah menyembunyikannya mati-matian, namun benar kata pepatah sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga, sepandai-pandainya dirimu menyimpan bangkai baunya akan tercium juga. Aku hanya pasrah menerima semua siksaan dan tatapan tajam itu karena aku sadari ini semua adalah salahku, aku yang bodoh telah percaya pada lelaki seperti dirinya, aku yang bodoh telah menyerahkan masa depanku padanya hanya dengan jaminan cinta yang bisa berubah kapan saja, aku yang bodoh mempercayai lelaki bejat seperti dia sepenuhnya.
Luka yang ditimbulkan akibat pukulan Ayah, dan perihnya tamparan yang aku terima tidak sebanding dengan luka hatiku saat ini. Aku berjuang mati-matian mencari lelaki itu untuk meminta pertanggungjawabannya namun nihil dia tidak pernah muncul, aku yang berjuang mati-matian agar kebenaran bahwa aku hamil diluar nikah tidak teruangkap namun apalah daya semua harus terungkap. "Gugurkan saja anak haram itu!" bentak Ibu.
"Gak Bu, gak. Aku gak akan pernah menggugurkan bayi ini, yang berasalah bukan bayi ini, Bu," tolakku.
"Iya yang salah bukan anakmu tapi kamu dan lelaki bejat itu." Pukulan Ayah semakin keras, tangisku semakin deras.
"Baik kalau kamu masih mau tetap mempertahankan anak haram itu, kamu yang harus menanggung akibatnya! Yuli bereskan semua baju dia!" seru Ibu pada Yuli--Kakakku. Yuli dengan cepat masuk ke kamarku dan masuk membereskan semuanya tidak bersisa dengan asal, terdengar dari suara gaduh dari dalam kamarku.
**
"Jangan anggap kami lagi keluargamu!" Ayah menyeretku keluar dari rumah."Bawa semua barangmu dan anak haram itu!" ujar Kakakku sambil melempar koperku dan bajuku.
"Tidak ada lagi tempat untukmu di rumah ini, dasar anak tidak tau diri!" kata Ibu, lalu masuk ke rumah sambil membanting pintu.
Aku membereskan semua pakaianku dengan air mata yang berderai, lalu perlahan berjalan menggeret koper. Langkahku berhenti aku melihat ke arah belakang, aku melihat mereka mengintip dari balik jendela, aku meneruskan langkahku.
**
Aku membereskan semua barang bawaanku di kontrakan kecil yang aku sewa. Aku tau aku bersalah dan bodoh, namun tidak adah tempat lagikah di rumah itu, dan itulah yang membuatku sakit. Aku menangis lagi, "Tenang ya Nak, Ibu akan selalu menjaga kamu. Kamu gak salah sayang, kamu gak berdosa, apapun yang terjadi Ibu akan selalu jaga kamu," aku mengelus perutku yang sudah agak membuncit. Untungnya aku masih mempunyai pekerjaan dan juga uang tabungan yang cukup untuk aku menyambung hidup bersama anakku.Tidak terasa sudah sembilan bulan aku menjalani hidup ini, dan sekarang waktunya aku melahirkan anakku ke dunia ini. Lelah dan meregang nyawa, ditambah tidak ada lagi siapa pun di sampingku untuk mendampingi, seketika aku teringat Ibuku bagaimana dia merasakan sakit ketika melahirkanku dengan taruhan nyawanya. Tapi saat tangan mungil itu menegang jemariku, dan mendengar tangisnya semua sakit itu sirna seketika. Air mataku mengalir karena tidak ada yang mngadzaninya. Akhirnya aku mengadzani anakku seorang diri.
**
"Ibrahim sini Nak," panggilku pada anakku."Makan dulu yuk sayang, " ujarku lalu kami masuk ke dalam rumah. Tidak terasa sekarang Ibrahim telah berumur tiga tahun, hanya ada aku disampingnya. Dia satu-satunya penyemangat hidupku yang aku punya, entahlah jika aku kehilangan dia akan seperti apa jadinya.
Malamnya aku memeluk anakku, aku tidur disampingnya. Dia tertidur setelah aku membacakan cerita untuknya, wajahnya yang polos tertidur lelap. Aku mendengar suara erangan, lalu seperti ada orang yang menepuk-nepuk bahuku. Aku membuka mata perlahan, dan kudapati wajah Ibrahim yang pucat pasi. Aku segera bangkit dan langsung membawanya ke dokter.
**
"Anak anda terkena leukimia," kata sang dokter. Seketika badanku lemas, air matanya begitu saja jatuh tanpa bisa ditahan. Aku kemudian menemui anakku yang sedang dirawat melihat wajahnya yang polos, air mata semakin deras mengalir."Apa ada cara menyembuhkannya dok?" tanyaku.
"Dengan tlanspantasi sum-sum tulang belakang, dan terapi lainnya."
"Baik saya akan donorkan sum-sum tulang belakang saya dok."
**
Dengan lesu aku melihat kertas yang ada di tanganku yang merupaka tagihan rumah sakit, bagaimana bisa aku memabayar biaya operasinya. Aku bingung, aku lalu berjalan-jalan di taman rumah sakit menenangkan pikiran. "Kita butuh ginjal lagi buat kita jual," kata seorang pria paruh baya dengan seorang pria yang agak muda berpakaian dokter, aku tidak sengaja mendengar percakapan mereka.Aku terus mendengarkan lalu aku muncul dihadapan mereka, mereka tampak terkejut dengan kemunculanku yang tiba-tiba. "Saya mau menjual ginjal saya," ujarku.
**
Alahamdullilah setelahnya anakku membaik, dan hasil uang dari menjual ginjalku bisa aku pakai untuk kebutuhan dan usaha kecil-kecilan agar aku bisa bekerja sekaligus mengawasi anakku. Apapun akan kulakukan untukmu anakku sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Slice Of Life (TAMAT)
Kısa HikayeGuliran cerita tidak akan berhenti sampai dirimu tidak bernapas lagi. Ketika semua tawa, luka, resah, gelisah keluh, pedih, dan semua rasa menjadi cerita dan rana warna dunia. Setiap detik yang berharga membentuk setiap cerita dari seluruh orang yan...