BABAK KEEMPAT: PENDAKIAN I

3.4K 166 11
                                    


"Yo ... Yo, Lu gak apa-apa kan?" Yoyo nampak lesu. Lehernya kehilangan kekuatan untuk menopang kepalanya. Mungkin topi yang ia kenakan terlalu berat? Matanya terus ia tatapkan ke bagian bawah mobil. Mulutnya tak henti komat-kamit bak dukun yang sedang membacakan mantra penyembuh bagi pasiennya yang mengeluh.

"Ya, Dip." Kepala yang semula tertegun tadi menoleh ke arahku. Tak kusangka, sahabatku itu menatapkan matanya yang berkilauan mengeluarkan air mata.

"Kenapa Lu, Yo?" tanyaku membangunkan rasa penasaran teman-temanku yang lain.

"Ya ampun, Bang Yoyo kenapa nangis?" tanya Desti yang duduk di samping kiri Mulki, di kursi tengah, seraya membalikkan badannya ke arah Yoyo yang duduk di paling belakang pojok kanan mobil, bersama aku dan Ibang.

Semua mata temanku tertuju ke satu wajah yang dihiasi kesedihan itu.

"Gak apa-apa, gue cuma gak enak perasaan aja." Jawabnya sambil berusaha mengguratkan senyuman, namun berat.

"Yaah, kita kan udah dikasih wejangan sama Mbah Wongso, Yo, yang penting kita nanti di pendakian, jaga Desti baik-baik! kita juga gak usah repot-repot mikirin cowok sok pemberani itu kan?" Ibang berusaha meredakan Yoyo.

"Ega maksud lu, Bang?" tanya Mulki.

"Iya, siapa lagi ... tangan gue nyicip dikit pipinya aja, dia langsung kabur tuh. Cemen banget, gede bacot doang. Gak dibedong kali itu orang, sama orang tuanya dulu." Jawab Ibang.

"Kalo kita nanti di Merapi ketemu si Ega gimana?" tanya Mulki mewakili keresahan kami semua.

"Kita kan gak tahu, dia tahu jalan kesana atau nggak, Ki" aku memajukan tubuhku melepaskan punggung ini dari sandarannya.

"Juga ... kita kan gak tahu dia naik jalur pendakian yang mana, mudah-mudahan sih gak ke Selo, sama kaya kita." Jawabku.

Aku menoleh ke arah Yoyo, merangkulnya dan menepuk-nepuk pundaknya, berharap semua kecemasan dan kesedihannya tersingkirkan. "Tenang, Yo ... bener kata si Ibang, kita jaga bener-bener si Desti."

Aku kembali menoleh ke wajah-wajah yang juga terpahat kecemasan yang sama, lalu berkata, "pendakian ini, akan kita kenang selamanya."

Suasana mendadak hening, dengan tatapan yang kembali pada tempatnya. Hanya terdengar suara kedap dari kendaraan lain dan dinginnya AC mobil yang selalu mengusap halus leher ini. Perasaan sedih Yoyo mungkin sudah mulai tersingkirkan. Ia menghela nafas panjang dan menyandarkan tubuhnya di jok mobil. Matanya terus mengarah ke langit-langit mobil, sebelum akhirnya ia terlelap.

***

Tubuh sebelah kiriku dibuat tak nyaman oleh gerakan Ibang yang tak karuan. Dia seperti mencari sesuatu.

"Lu kenapa sih, Bang? Gak bisa diem."

"Gue nyari HP, Dip, biar kita happy lah, jangan pada merenung terus, kayak di pemakaman aja." Ucapnya.

"Nah ketemu ... Darso dulu Guys!!" Lanjutnya seraya mengeluarkan HP Blackberry hitam yang ia temukan terjatuh di bawah jok mobil. Ibang lalu menyetelkan lagu dari King of Pop Sunda itu yang berjudul "Kabogoh jauh".

"Tah ... kitu atuh, Bang." Kucay semangat menyambut musik yang Ibang nyalakan.

Memang dua orang ini, tak bisa kupungkiri, aku sangat salut dengan mereka. Mereka selalu berusaha menghibur kita di kala situasi sedang kalut. Aku rasa, sebenarnya Ibang dan Kucay pun merasakan kecemasan dan kesedihan yang sama. Tapi entah mengapa, keduanya seperti mempunyai obat penawar bagi diri mereka sendiri, sebelum mereka menularkannya kepada yang lain. Terutama Ibang, selalu saja mempunyai cara yang unik untuk menghibur kita semua—entah itu dengan celetukannya yang khas, atau tindakannya yang selalu bisa mendinginkan suasana. Beruntung aku mempunyai sahabat seperti mereka.

KUALAT GUNUNG MERAPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang