BABAK KETIGA: WEJANGAN

3.4K 156 35
                                    

Di dalam rumah yang tergolong besar itu, kami disambut oleh seorang wanita cantik yang nampaknya, umurnya tidak terpaut jauh dari Mas Irwan.

"Ini Mbak Lies, istrinya Mas Irwan." Terang Gundil.

Senyum yang tergurat di wajahnya begitu indah, sedap dipandang. Tangannya ia rapatkan tepat di depan dadanya yang ditutupi oleh kerudung panjang itu—menyalami kami dari kejauhan. Ibang dan Kucay yang mempunyai sifat yang sama—yaitu menyukai wanita cantik, tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari Mbak Lies.

"Mata, mata, cuk!" Gundil dengan cekatan mengusap keras wajah mereka berdua dengan telapak tangannya.

Kami dipersilakan duduk di ruang tamu. AC ruangan membuat kami dapat membedakan secara jelas hawa di luar rumah dengan di dalam rumah. Sejuk dan membuat nyaman.

"Nak, bawain minum dari dapur, sini!" Teriak Mbak Lies ke arah sebuah kamar yang berada tepat di samping ruang tamu.

"Iya, Bu." Terdengar suara lembut seorang perempuan dari kamar itu. Suara yang bagaikan nyanyian merdu seorang diva. Dengan cekatan, Ibang dan Kucay bersiap mengawasi siapapun yang keluar dari kamar itu. Sesekali mereka saling melempar senyuman dan saling sikut. Urusan wanita, memang mereka lah yang paling cekatan.

Engsel pintu kamar terdengar ada yang membukanya dengan perlahan. Mataku tertuju ke arah pintu itu memastikan siapa yang keluar.

"Ehh, ada Om Gugun." Suara lembut yang disertai senyuman itu ternyata datang dari seorang wanita yang dua kali lipat lebih cantik dari Mbak Lies. Rambutnya yang diikat, berkulit putih seakan tak pernah disentuh oleh sinar matahari, sedikit bulu halus ditepian wajahnya membuat setiap gerak-geriknya memberi makna keindahan, apalagi ditambah tahi lalat yang menghiasi pipi kanannya, ditunjang dengan bentuk wajahnya yang oval dan bentuk tubuh yang ideal. Bagiku, dia adalah sosok wanita yang sempurna. Siapapun laki-laki yang meminangnya kelak, dia adalah laki-laki yang sangat beruntung. Dapat kupastikan, Ibang dan Kucay terlihat kegirangan. Mereka seperti menemukan harta melimpah yang jauh terpendam di dalam bumi.

"Hai, Niken. Maaf ya nggak ngabarin kamu sebelumnya." Gundil menyapa wanita itu.

"Kenalin, itu anak saya, Niken." Ujar Mbak Lies. Ibang dan Kucay beranjak dari duduknya, berebutan menyalami Niken. Berbahaya kalo lama-lama disini, bisa-bisa si Ibang sama si Kucay gak jadi muncak.

"Bang, Cay. Duduk, ganteng!" Pintaku. Tahi lalat yang ikut terbawa oleh senyuman di pipi Niken, kuakui memang semakin menambah aura kecantikannya. Setelah menyalami Ibang dan Kucay, Niken kemudian berjalan menuju belakang rumah.

"Niken, masih sekolah Mbak?" Tanyaku.

"Iya, dia masih kelas 2 SMA." Jawab Mbak Lies.

"Pasti di sekolahnya jadi incaran banyak lelaki ya, Mbak?" Celetukan Ibang membuat Mbak Lies tersenyum.

"Iya, dong. Kaya mamanya dulu jadi incaran para cowok di kampus." Mas Irwan menimpali kami sambil menuruni tangga. Mendengar pengakuan itu, Mbak Lies tersipu malu.

"Udah Mas siapin satu kamar di atas, temen kamu yang cewek, tidur sama Niken aja ya!" Ucap Mas Irwan kepada Gundil.

"Semua tas, simpen di gudang aja. Masih banyak ruang yang kosong kok." Terusnya seraya duduk di samping Mbak Lies.

Sejurus kemudian, datanglah Niken dengan membawakan kami minuman. Reaksi Ibang dan Kucay tak bisa dielakkan. Mereka berdua tetap dengan keterpesonaannya kepada Niken.

"Maafin temen-temen saya ya, Mas?" Gundil mungkin merasa risih dengan kelakuan Ibang dan Kucay. Mas Irwan menanggapinya hanya menggangguk sambil tersenyum. Setelah melaksanakan tugasnya, Niken kembali ke kamarnya.

KUALAT GUNUNG MERAPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang