BABAK KESEPULUH: SELAMAT JALAN, SAHABAT

3.4K 235 131
                                    

"Maksud, Mbok?" aku mengerutkan dahi. Pelukanku kulepas.

"Yoyo yang menyelamatkan kamu dan yang lainnya." tuturnya begitu lembut.

"Yoyo juga sudah berusaha menyelamatkan dua orang kekasih itu. tapi kesalahan mereka terlalu berat." Lanjutnya.

Jujur, misteri di dalam kepalaku bertambah. Belum sempat kupecahkan misteri yang diutarakan Mbah Wongso, aku sudah diberi isyarat lain oleh Mbok Irah malam itu. Kepalaku rasanya ingin pecah mendengar pernyataan itu. apa yang dimaksud Mbok Irah dengan "kesalahan yang terlalu berat"?

Plak

Seseorang menepukku dari belakang.

"Mas, ngobrol sama siapa?" tanya seseorang yang tak ku kenal.

"ini Mas sam...." aku tidak mendapati Mbok Irah di posisi semula. Dia menghilang.

"Iya Mas, maaf." Aku bergegas pergi meninggalkan orang yang menegurku tadi. Aku takut disangka orang gila.

Langkahku tertuju kembali ke rumah Mas Irwan. Di perjalanan menuju kesana, ada suara tanpa wujud yang menegurku, "Biar Yoyo yang jawab nanti." Itu suara Mbok Irah. Sepertinya benar, Mbok Irah bukanlah manusia. Namun, aku tetap tidak mengetahui aslinya, dia itu siapa. Dan ada hubungan apa antara dirinya dengan Yoyo. Mereka terlihat begitu dekat.

***

Ketika baru saja aku menjejakkan kaki di depan pintu rumah Mas Irwan, aku dikejutkan dengan teriakan Ega dari kamar lantai atas. Aku bergegas membuka pintu rumah, lalu berlari menuju lantai atas.

Di ruang keluarga hanya nampak Yoyo, Desti, dan Mulki yang terbaring. Sementara yang lain mengerumuni kamar. Aku berlari menghampiri.

Terlihat Mbah Wongso seperti kewalahan menangani Ega. Sesekali Ega berteriak, mengerang, dan tubuhnya mengejang. Lalu pingsan.

"Sama beratnya dia dengan si Yoyo." Ucap Mbah Wongso berpeluhkan keringat.

"Memang pantas dia mendapatkannya." Lanjut lelaki parubaya itu.

Mas Irwan sepertinya tidak ingin mengambil resiko. Dia segera meminta kami untuk bersiap dan pulang ke Bandung malam itu juga. Tanpa pikir panjang, kami semua menuruti apa yang diminta oleh Mas Irwan.

Semua cerrier kami simpan di atas roof rack mobil. Tali pengikatnya dikencangkan, supaya tidak ada yang terjatuh saat perjalanan.

Aku kembali ke lantai atas untuk membawa Yoyo. Ibang membawa Desti, Kucay membawa Mulki, dan gundil membawa Ega. Kami menuruni tangga dengan penuh kehati-hatian. Aku tidak ingin mencelakakan orang yang sedang dalam keadaan sakit.

Perlahan Mulki, Desti, dan Ega didudukkan di kursi belakang, ditemani oleh Ibang. Setelah itu, baru giliranku mendudukkan Yoyo di kursi tengah, ditemani oleh Kucay. Seperti biasa, Gundil duduk di depan, samping kiri Mas Irwan. Kueratkan sabuk pengaman mobil di tubuh Yoyo. Sehingga tubuhnya tidak akan terlalu tergoncang ketika diperjalanan.

Kami berpamitan dengan Mbak Lies dan juga Niken. Dua bidadari cantik Mas Irwan yang mempunyai rasa empati begitu tinggi. Aku sangat salut pada keluarga ini. Bahkan, di detik-detik terakhir mobil meninggalkan rumah, Mbak Lies terlihat mengusap air matanya.

***

Mobil melaju dengan cepatnya. Membelah kegelapan malam, yang langitnya kulihat terselimuti awan mendung. Lagi-lagi, alam mendukung rasa kesedihan ini.

Setidaknya, butuh kurang lebih delapan jam bagi kami untuk sampai di perbatasan kota Bandung.

***

Tak terasa, kami sudah melakukan setengah perjalanan. Mobil masih melaju tanpa hambatan. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Kira-kira, di waktu subuh baru kita akan sampai di Bandung.

KUALAT GUNUNG MERAPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang