BABAK KEDELAPAN: SIAL

2.7K 153 25
                                    

Suara ayam berkokok membangunkan tidur lelapku.

........

Ah, suara alarm HP-ku ternyata. Aku kira, seekor ayam bisa mendaki begitu jauhnya hingga mencapai Pasar Bubrah. Memang sengaja aku pasang nada kokok ayam supaya terdengar klasik.

Jam yang tertera di layar HP, menunjukkan angka empat lebih sepuluh. Teman-teman satu tendaku, semuanya masih tertidur pulas. Entah apa yang diimpikan Kucay. Mulutnya terbuka, dan kadang tertawa kecil tanpa sebab.

Nyawaku masih belum terkumpul semua. Sebagian masih terbang di awang-awang. Belum sepenuhnya masuk kembali ke dalam tubuh ini.

Aku terduduk. Dengan sleeping beg yang menyelimuti kakiku. Aku ambil kuplukku di pojokan tenda yang terlepas ketika aku tertidur.

Tiba-tiba, aku teringat sesuatu. Semalam dalam keadaan sadar tidak sadar, samar kudengar, suara Ega yang meminta maaf kepadaku.

Kasihan juga dia. Siapa tahu dia memang mengakui kesalahannya. Dan mungkin, sekarang ini dia tertidur di luar.

Aku segera melorotkan sleeping beg-ku dan segera menyembulkan kepalaku memeriksa keberadaan Ega di luar.

Lho, kemana dia? Aku tidak melihat Ega.

Melihat suasana di luar tenda, Seketika bulu kudukku meremang hebat. Aku tidak lagi melihat pedagang-pedagang yang menjajakan dagangannya disana. Pasar itu sudah raib bak ditelan bumi. Disana hanya menyisakan tenda para pendaki lain yang masih dalam kondisi tertutup.

Udara dingin mencengkram wajahku. Indera penciumanku sedikit terhalangi. Ingin rasanya kubangunkan Yoyo dan yang lain untuk segera "ngopi bareng" dan "ngudud bareng", supaya tubuh ini terasa lebih hangat.

Urusanku belum selesai dengan Ega. Kugeserkan cerrier yang menghalangi mulut tenda, kupakai kaus kaki, kemudian kusiapkan otot-otot kakiku untuk beranjak keluar tenda, memeriksa keberadaan sahabat Mulki itu.

"Ga ... Ega!" aku sedikit mengeraskan suaraku, sembari memutarkan badan tiga ratus enam puluh derajat.

Kuharap, yang semalam meminta maaf di samping tendaku itu memang benar-benar Ega. Bukan "Ega" yang kulihat terpasung, dijajakan salah satu pedagang di Pasar Setan semalam.

"Ga ... Ega!" aku terus memanggil namanya. Berkeliling sekitaran tenda, namun, Ega tetap tidak ada. Kuputuskan untuk kembali ke tenda, membangunkan teman-temanku untuk segera bersiap naik ke puncak gunung.

"Darimana lu, Dip?" ternyata Ibang sudah terbangun. Matanya masih sepet.

"Gue nyari si Ega, gue denger pas malem, dia bilang minta maaf di pinggiran tenda kita."

Ibang terdiam. Awalnya, kusangka dia akan berontak seperti kejadian di Pos dua. Kali ini dia tertunduk. Beberapa kali, dia memejamkan mata sembari mengembuskan nafas panjang.

"Kenapa, Bang?" tanyaku

"dia juga dateng ke mimpi gue. minta maaf juga." Jawabnya.

Dahiku mengkerut. Kubungkukkan badan seraya menatap matanya yang terpancar keseriusan. Berbeda dengan Ibang, yang kualami semalam memang benar-benar nyata terdengar.

"di mimpi itu, gue keluar tenda. Gue lihat di luar, si Ega udah duduk nungguin."

"Muka dia banyak banget luka. Kemejanya juga udah compang-camping. Dia minta maaf terus ke gue, sambil nangis. Gue jadi kasihan lihatnya." Tutup Ibang.

Aku mengusap wajahku. Apa yang dilihat Ibang dalam mimpinya, sama dengan apa yang dilihat olehku sewaktu aku melihat Ega terpasung.

"Bang, coba bangunin si Kucay sama Gundil juga. Kita tanya. Siapa tahu mereka juga mimpiin si Ega. Sekalian bangunin buat siap-siap ke puncak!" pintaku.

KUALAT GUNUNG MERAPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang