Otakku tidak berhenti menerka. Siapa yang menyemangatiku di belakang tadi? Sangat jelas kudengar, itu adalah suara Gundil. Aku yakin seyakin-yakinnya. Tapi apa yang kulihat kemudian, kenyataan berbicara lain—Gundil memang sudah berada di depanku.
"Bang, lu tadi denger ada yang nyemangatin gue di belakang, kan?" tanyaku kepada Ibang, hanya memastikan.
"Enggak, Dip. Gue juga teriak, soalnya denger lu yang teriak duluan." Jawab Ibang.
Apa? apa iya tadi aku ini halusinasi?
Terasa aneh ketika aku bisa banyak berhalusinasi begini. Aku paham betul diriku ini, aku merasa diri ini masih belum kelelahan. Jadi, mana mungkin aku berhalusinasi. Ah sudahlah. Daripada aku jadi banyak menerka hal-hal yang belum pasti, aku memilih untuk mencairkan suasana dengan cara mengeluarkan candaan kepada Gundil.
"Dil, tapi lutut lu masih aman kan?" ledekku kepada Gundil.
"Aman, Dip, di pendakian ini, gue gak akan ngecewain lu." Matanya mendelik sinis ke arahku.
"Walah, paling cuma lagu lu doang, di Ciremai lu juga bilang kaya gitu kan? Buktinya, keropos juga lutut lu, hahaha." Perkataanku membuat Mulki, Desti, dan Ibang ikut tertawa. Sedangkan Gundil, hanya memalingkan pandangannya ke arah semak-semak dengan madu yang terus dia cicipi.
Aku memang suka bercanda dengan Gundil. Meskipun ekspresinya selalu terlihat tidak senang, entah kenapa aku selalu semangat untuk terus memojokannya. Gak apa-apa lah ya, Dil? Kalo gak kaya gini gak rame. Hehehe.
Candaan itu sedikit menjadi obat penenangku dari ingatan kejadian yang menimpaku tadi. Suasana yang renyah, lepas, penuh canda tawa melukiskan kenangan indah di dalam kamus kehidupanku. Kamus yang akan kubuka isinya sedikit demi sedikit kepada anak cucuku kelak.
Suasana hangat itu serasa tak lengkap tanpa kehadiran Kucay dan Yoyo. Kutengok, Kucay masih dengan asyiknya menghisap rokok, berjongkok tepat di bawah plang Pos 1. Semakin lama kuperhatikan tingkah lakunya itu, lidahku jadi merasa kecut. Ingin rasanya aku bergabung dengannya menikmati sebatang saja untuk mengusir kecutnya lidahku ini.
"Yo, ayo kita ngudud dulu. Jangan ngelamun terus lu, Ah." Ajakku kepada Yoyo yang daritadi duduk melamun di atas sebuah batu.
"Dari lu, ya?" pintanya.
Aku membalasnya dengan senyuman. Itulah yang aku rindukan dari Yoyo, yang belum aku temui sejak pertama berangkat dari stasiun Kiaracondong. Di balik sifatnya yang pendiam, dia selalu meminta rokok atau kopi kepadaku. Padahal sebenarnya aku tahu, dia tidak semiskin itu.
Yoyo mengikuti langkahku untuk menghampiri Kucay. Aku selalu melakukan keakraban ini kepada sahabat-sahabatku. Hal itu semata aku lakukan untuk lebih mempererat hubunganku dengan mereka. Aku tidak ingin jika di kemudian hari, aku atau sahabat-sahabatku saling melupakan satu sama lain.
Dua batang dari sebuah bungkus yang ada di celanaku, aku tarik dengan perlahan. Satu untukku dan satu lainnya kuberikan kepada Yoyo. Segera kunyalakan untuk menghilangkan kecutnya lidah ini dan mengusir sedikit hawa dingin yang menghinggapi tubuhku.
Obrolan ngalor ngidul di antara kami bertiga membuat suasana menjadi tambah hangat. Cerita tentang pengalaman pendakian sebelumnya pun menjadi topik pembahasan. Jujur kukatakan kepada Yoyo, pengalamanku kali ini—mendaki Gunung Merapi, terasa sedikit berbeda. Yoyo dan Kucay pun setuju dengan itu.
"Kalo gue, pertama ngerasa aneh itu pas di Prambanan, Dip, pas si Desti hilang." Kucay mengamini.
"Gue juga dari pertama di stasiun itu udah curiga, kenapa dia diajak shalat kok cuma diem aja." Yoyo membuka suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUALAT GUNUNG MERAPI
HorrorMenceritakan pendakian seseorang bernama Dipta, yang harus menghadapi kenyataan pahit ketika dia bersama rombongannya mendaki Gunung Merapi