Kehadiran lelaki itu menghadirkan rasa penasaran bagiku. Lebih tepatnya, aku sangat penasaran dengan penampilannya yang tak umum.
"Maaf, Pak. Darimana mau kemana ya?" aku membuka obrolan.
"Saya warga sini. Saya mau pulang, tapi sudah kemalaman. Rumah saya di belakang puncak sana." Lelaki itu menjawab dengan santainya, menunjuk ke arah siluet besar puncak Merapi.
Hah? Emang ada desa di belakang puncak ini? satu pertanyaan besar menghujam di kepalaku.
Tak ada reaksi kedinginan sedikitpun dari raut muka ataupun bahasa tubuhnya. Padahal, dia hanya memakai dua lapis kaos tipis. Kulitnya pun nampak berwarna normal, kuning langsat. Tanpa ada warna ungu yang menandakan darah-darahnya mulai beku oleh hawa dingin.
Luar biasa sekali pria ini. Ilmu apa yang dia pakai, hingga jaket pun tak berguna baginya?
Aku dan Kucay saling memandang. Heran dengan keluarbiasaan pria ini. Kucay sendiri menyebut pria ini dengan sebutan "Mbah".
"Mari, Mbah. Kita ngopi-ngopi di depan tenda aja." Ajakku dengan segan.
Aku berjalan duluan menuju Ibang dan Gundil. Kucay dan Si Mbah mengikutiku dari belakang. Sayup kudengar, mulut Si Mbah meracau kecil. Bukan mengajak Kucay berbincang. Dia meracau sendiri.
Aku meminta Ibang untuk mengeluarkan kembali peralatan memasak. Dengan cekatan, Ibang meraih cerriernya lalu dengan hati-hati mengeluarkan satu persatu peralatan masak itu.
Aku sendiri mengeluarkan dua renceng kopi hitam manis dari dalam cerrierku. Itu adalah amunisi kami selama disini. Dan tentunya, tidak akan pernah ada rokok tanpa ada kopi di sampingnya. Mereka berdua layaknya dua sejoli yang tidak dapat dipisahkan.
"Laper lagi, gue." Tutur Ibang. "Dil, gue minta mie."
Ibang merangkak menuju ke dalam tenda. Ia merogoh cerrier Gundil yang tersimpan banyak mie instan dari berbagai merk dan berbagai rasa.
Perutku yang semula terasa kenyang, mulai terasa lapar kembali. Sepertinya cacing-cacing di dalam perutku ini terhipnotis oleh Ibang.
"Sekalian, bawa lima aja, Bang! Kita makan-makan disini." Ucapku.
Aku menoleh ke tempat Si Mbah duduk. Tangannya melingkar di betisnya yang ia tekuk. Tatapannya tertuju kosong melihat ke arah tenda Yoyo. Dari matanya, seperti ada cercahan kesedihan. Nafasnya sesekali berembus kecil. Si Mbah terus saja melamuni tenda Yoyo tanpa bergerak sedikitpun.
"Kenapa, Mbah?" tanyaku membangunkan lamunannya.
"Eng ... gak apa-apa." jawabnya.
O, ya. Aku teringat sesuatu. Apa Si Mbah ini adalah orang yang dimaksud pemuda yang kutemui di Pasar Cepogo tadi siang? Aku rasa begitu.
Kuraih cerrierku, kuambil ranting jati yang kusimpan di sakunya. Lalu, tak lupa kurogoh koin berlubang kecil, berbentuk kotak di saku celanaku. Kuperlihatkan kedua barang itu kehadapannya.
"Apa ini?" tanya Si Mbah.
"Lho, bukannya ini punya Mbah?" tukasku.
Si Mbah lalu merampas koin dan ranting itu dari tanganku. Matanya memicing, dahinya mengernyit. Ia memeriksa setiap detail dari keduanya. Mencium bau dan melihat setiap ukiran dan lekukannya.
"Ohh, ini." cakap Si Mbah, seperti sudah mengetahui pemilik kedua benda itu.
"Ini milik salah satu pedagang di Pasar ini." tegasnya.
Si Mbah memberikan kedua benda itu ke genggamanku lagi. Lalu, aku menyimpannya kembali ke tempat semula.
"Apaan itu, Dip?" tanya Kucay penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUALAT GUNUNG MERAPI
TerrorMenceritakan pendakian seseorang bernama Dipta, yang harus menghadapi kenyataan pahit ketika dia bersama rombongannya mendaki Gunung Merapi