BABAK KEENAM: PENDAKIAN III

2.9K 154 6
                                    


"Bangsat, mana anak itu?" Ibang berbalik. Dengan kepalan tangan hampir sebesar buah naga, langkahnya tergesa diiringi nafas yang memburu.

"Bang, Bang, tahan emosi lu!" Tanganku hampir menahan kedua pundaknya, namun dengan gerakan seorang jawara, ia menepisnya dengan mudah.

"Tangan gue yang kiri, belum nyicip pipinya." Ucap Ibang murka. Matanya mendelik.

Ibang tak mengindahkan perintahku. Wajahnya memerah, di kepalanya seperti muncul sebuah tanduk yang panjang, besar, dan runcing. Langkah kakinya pun terhentak keras. Ibang menghampiri kembali area Pos dua.

Ibang berdiri di tengah-tengah area itu. Berputar melihat kesekelilingnya, menelusuri setiap sudut. Tangannya masih dalam keadaan mengepal. Asap di kepalanya semakin membubung tinggi ke langit, bersatu padu dengan kabut tipis yang menyelimuti.

"Ega, mana lo? Gue tunggu disini." Ucapnya kesal.

Tak ada jawaban yang menyahuti panggilan Ibang.

"Ega!!" Teriakan Ibang mengganggu istirahat pendaki lain.

"Kenapa, Mas?" tanya salah seorang pendaki yang keluar dari tendanya.

Ibang dipandangi oleh semua pendaki yang ada di area itu. Semua mata menatapnya keheranan. Mungkin mereka berpikir, mengapa orang gila dibiarkan mendaki gunung?

Ibang semakin memicingkan matanya, melihat ke semua pendaki yang bermunculan dari tenda.

"Ada yang namanya Ega?" tanya Ibang dengan teriakan.

Semua pendaki menggelengkan kepala. Tapi Ibang sepertinya tidak mau tertipu begitu saja. Dengan lantang ia berkata, "Jangan ada yang bohongin gue, tadi gue denger suaranya. Kalian sembunyiin dimana dia?"

Kali ini Ibang tak main-main. Sepertinya ia memang mau menghabisi Ega, jika saja ia menemukannya. Tanpa ancang-ancang, Ibang melangkah cepat ke setiap tenda untuk memeriksa isinya.

Tak ingin sesuatu hal yang buruk terjadi, aku berlari menuju Ibang yang sedang mengobrak-abrik tenda pendaki lain. Sepertinya pendaki lain tak ada yang berani kepada Ibang. Karena memang, mereka mungkin terlebih dahulu takut dengan melihat perawakan Ibang.

"Bang, Bang, udah ah, lu jangan malu-maluin gini!" aku memberanikan diri menarik bajunya.

Sebenarnya, aku segan kalau melihat Ibang sudah penuh amarah seperti itu. Melihat kepalan Ibang yang berukuran tak wajar itu, membuat nyaliku sedikit menciut. Bisa saja dia menghajarku. Akan tetapi, yang kupikirkan saat itu adalah harus menghentikan reaksi sahabatku itu, sebelum yang lain kena imbasnya.

Dia mendorong keras bahuku, lalu berkata,"Dip, lu belain si Ega?" tanya Ibang sembari mengerutkan dahinya.

"bukan belain, Bang. Lihat sekitar lu baik-baik! Lu gak malu apa ... Tahan emosi lu! Kalo emang si Ega gak ada, dan tadi itu cuma kebetulan halusinasi kita aja, gimana?" kutahan segenap rasa seganku kepadanya. Apapun yang terjadi, aku siap menjadi pelampiasannya yang pertama.

Ibang menghela nafas panjang. Beberapa kali ia tarik dan hembuskan. Matanya sedikit terpejam. Kepalannya melemah. Ia tertunduk sebentar dan mendongakkan kepalanya ke langit.

"Ya udah, kita lanjut aja. Maafin gue, Bro." tandasnya.

Syukurlah, emosi Ibang dapat diredakan. Meskipun sedikit banyak, aku menanggung malu pada pendaki lain atas tindakannya. Aku tidak bisa membayangkan jika Ibang menghabisi Ega. Mungkin pendakianku ini akan dimuat di surat kabar dengan berita berjudul "seorang pendaki dibunuh temannya sendiri".

Yoyo dan yang lainnya menungguku di jalur pendakian. Mereka memang sudah menyerahkan situasi seperti ini kepadaku. Buatku, ini sebuah dilema besar. Aku harus berusaha mengendalikan egoku sendiri demi sahabat-sahabatku.

KUALAT GUNUNG MERAPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang