Rimbana: Heroine's Zero

32 5 19
                                    

|| Rimbana | |383 Words ||

Napasku masih tersengal, lukaku masih meneteskan darah biru, dan jelaga masih membubung ke udara, membuat kacau semakin balau saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Napasku masih tersengal, lukaku masih meneteskan darah biru, dan jelaga masih membubung ke udara, membuat kacau semakin balau saja. Aku menggenggam erat pedang di tangan kiri dan kananku. Setelah tersaruk-saruk, terseok-seok, dan seolah-olah energiku terus bertambah alih-alih berkurang, aku kembali maju ke depan, mengayunkan pedang dengan cepat ke arah orang-orang dengan pakaian hitam.

Aku tidak akan berhenti. Tidak akan pernah. Tidak bahkan jika tubuhku dipenuhi sayat, darahku mengering, dan tulangku berderak. Tidak akan pernah aku berhenti menghabisi mereka; iblis kejam yang memporak-porandakan masa kecilku.

Siapa bilang lukaku sudah mengering? Rasanya baru kemarin aku menyaksikan ayahku mati tercabik-cabik, tombak besar merobek perutnya. Rasanya baru kemarin aku melihat darah menyelimuti tubuh ayah. Dan rasanya baru kemarin aku menangis meraung-raung karena duniaku runtuh.

"Aruni! Kakimu-"

"Aku baik-baik saja, Kelana!"

Aku mengayunkan pedang, menyabet perut seseorang yang mencoba mendekatiku dengan pedangnya. Sedikit merundukkan kepala, menghindari serangan dari belakang, lalu menebaskan pedangku.

Denting logam-logam menggema menjadi alunan musik malam ini disertai darah-darah biru yang menyerak.

Aku berhenti setelah berhasil merobek bagian perut musuh. Terengah-engah, mengamati sekeliling yang masih kacau. Tidak ada lagi yang menyerang ke arahku. Lalu, suara tepukan tangan itu datang.

Aku menoleh, kemudian wajahku mengeras, rahangku mengetat, dan api menyala di mataku. Darahku mendidih dan urat-uratku menegang. Kupegang pedangku semakin erat. Ini dia bajingannya.

"Bagus, Aruni. Dulu kau hanya gadis penangis yang bisanya merengek, tapi lihatlah sekarang. Tidak kusangka kau jadi sehebat ini."

"Tutup mulutmu, bajingan!"

Aku berlari, mengayunkan pedang. Lalu pedang itu saling beradu. Aku berkelit ke kiri, memutar tubuh, lalu mengayunkannya sekali lagi. Pedang kami kembali beradu.

"Akan kubunuh kau. Kucabik-cabik seperti yang kau lakukan pada ayahku. Kupisahkan daging dari tulangmu lalu kuberikan pada hiu."

Dia tertawa. Tawa serak memuakkan. Tawa yang membuatku samakin berhasrat untuk mengulitinya dan menyayat-nyayat tubuh menjijikkan itu.

"Sungguh menakutkan," ujarnya berkelit lalu menangkis pedangku. "Baik. Mari kita lihat. Aku atau kau yang akan berakhir seperti ayahmu."

"Ngomong-ngomong ayahmu payah sekali. Dia tidak bisa menghindar ketika kutusuk perutnya. Hanya meringis dan merintih, lalu setelahnya mati. Dasar pria bodoh, lemah."

Ubun-ubunku semakin mendidih, membakar kewarasanku. Kemudian, dengan segenap kemarahan yang kupunya, aku melompat, berputar di udara, lalu kuayunkan pedangku secepat mungkin.

Dia menghindar. Namun, aku tahu persis, aku berhasil mengenai bahunya.

"Jangan. Hina. Ayahku, Bajingan!" [ ]

 Ayahku, Bajingan!" [ ]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Heroine: Rimbana (Book 1) [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang