Panti Asuhan Terakhir

712 64 8
                                    

Selama beberapa hari, Wonwoo mencari-cari keberadaan sang anak sulung dengan kemampuan teknologinya. Dengan berbagai percobaan, Wonwoo mengutus bawahannya untuk mengecek keberadaan anaknya. Meskipun begitu, ia masih juga belum bertemu dengan Minwoo.

Hingga tibalah ia sendiri pada suatu panti asuhan yang tidak begitu ramai namun dipenuhi oleh banyak anak kecil dan beberapa pemuda yang sedang menemani mereka belajar atau bermain.

Tempat ini adalah harapan terakhir Wonwoo. Jika memang pada akhirnya ia tidak akan menemui Minwoo, maka ia akan mengerahkan informasi-informasi dari badan intelijen negara untuk melakukan pencarian secara diam-diam.

"Selamat Siang..."
"Selamat Siang, Pak. Ada perlu apa ya?"
"Saya mau bicara dengan ibu pantinya."
"Wah. Silakan masuk, Pak. Diparkir di dalam saja. Mari saya antar."

"Terima kasih, Pak."

Selesai memarkirkan mobilnya, Wonwoo mengikuti bapak satpam menuju gedung utama panti asuhan tersebut. Bapak satpam mengetuk pintu berwarna merah.

"Buk. Ini ada yang mau ketemu dengan ibuk."

Seorang wanita berumur 50an tahun membuka pintu tersebut dan menyambut Wonwoo dengan senyuman teduh.

"Terima kasih, Pak Jung."
"Sama-sama, Bu Kwon.

"Mari, Pak. Saya tinggal, ya?"
"Oh. Iya, Pak. Terima kasih."

"Mari, Pak. Silakan masuk dan duduk."
"Terima kasih, Bu."

"Perkenalkan, Bu. Nama saya Jeon Wonwoo. Maksud kedatangan saya kesini adalah untuk menjemput anak saya."
"Anak bapak?"

Ibu itu menatap Wonwoo dengan curiga.

"Jeon Minwoo."
"Jeon Minwoo? Jeon Minwoo siapa, Pak?"
"Uhm... Minwoo? Ibunya adalah Kim Mingyu. Saya kira mungkin dulu dia diantar kesini oleh Bundanya."

Kecurigaan sang ibu panti pada Wonwoo semakin menumpuk, mengingat ia tentu tahu permasalahan yang dihadapi Mingyu dan Minwoo saat itu sehingga Mingyu memutuskan untuk membiarkan Minwoo bertumbuh di panti asuhan.

"Jika memang Minwoo itu yang bapak maksud, Minwoo sudah tidak berada di panti ini, Pak."
"Hah? Mengapa begitu?"
"Dia sudah tinggal di kosan sendiri karena melanjutkan kuliahnya."
"Minwoo? Minwoo sudah kuliah?"
"Iya, Pak. Benar."

Tatapan Wonwoo berbinar. Jika orang tidak memperhatikan matanya, tentu Wonwoo akan dicurigai dengan berbagai tindakan negatif. Tapi tidak menurut Bu Kwon yang menatap matanya langsung.

"Kalau begitu, dimana dia ngekos? Kuliahnya dimana?"
"Sebentar. Ada apa bapak menginginkannya kembali?"

Bu Kwon merapikan duduknya di kursi dan menatap tajam Wonwoo. Seakan mengancam Wonwoo jika ia akan berbuat hal yang semena-mena.

"Saya tahu saya dulu menyakitinya. Juga istri saya. Tapi saya mohon... Saya ingin bertemu dengannya. Saya ingin kami berkumpul. Saya ingin setidaknya saya menebus sedikit dari kesalahan saya dulu pada istri saya."

Sang ibu panti tersenyum lembut. Ia kemudian mencari nama Minwoo di komputernya lalu menunjukkan data mengenai Minwoo pada Wonwoo.

"Bapak bisa memilikinya dengan syarat... jangan sampai hal ini terulang kembali. Tidak mudah bagi seorang ibu yang telah melahirkan dan merawat anaknya sendiri melepas anaknya agar terlindungi. Hal ini sebenarnya bisa menimbulkan trauma pada seorang ibu..."

"...Apa bapak benar-benar menyadari kesalahan bapak?"
"Saya menyadarinya, Bu. Dan saya benar-benar menyesal karenanya. Saya merengut kebahagiaan istri saya, dan saya ingin mengembalikannya."
"Baiklah jika demikian. Saya turut bahagia jika bapak benar-benar menyesal. Karena Minwoo sudah menjadi keluarga kami, sudah menjadi kewajiban saya juga untuk menjaganya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Saya harap, bapak bisa mengerti hal ini."
"Saya mengerti."

Bu Kwon kemudian meminta data profil Wonwoo yang cukup lengkap. Mulai dari data di kartu tanda penduduk, foto dirinya, persetujuan pertanggungjawaban, dan lain sebagainya.

"Bagaimana anak saya ketika dulu, Bu?"
"Minwoo anak yang pintar, Pak Jeon. Bundanya mengajari banyak hal padanya. Ia mampu belajar sendiri dan menguasai banyak hal. Tapi, dia tipe yang irit bicara. Jika bukan sedang mengajari, dia tidak akan banyak bicara. Bahkan ketika masih pra-remaja, Minwoo sangat jarang menunjukkan perubahan ekspresi dan emosi. Dia anak yang cenderung tenang dalam menghadapi masalah. Bisa dibilang, pemikiran anak anda cukup dewasa pada umurnya yang masih begitu muda."
"Mendengarnya, saya teringat istri saya. Dia benar-benar orang yang sangat tabah."
"Iya, Pak. Saya setuju. Juga, hatinya sangat tulus. ia tentu seorang ibu yang baik."

"Bagaimana kabar Tuan Kim, Pak?"
"Mingyu... Mingyu masih dalam keadaan koma, Bu."
"Koma? Loh? Ada apa dengan Tuan Kim?"

Secara perlahan, Wonwoo menjelaskan satu-persatu hal yang terjadi selama beberapa bulan ini dalam keluarganya.




























...

































"Kalian udah ngerjain tugas?"
"Tugas? Tugas apaan njir, Nu?"
"Itulohh... Tugas desain rencana pelaksanaan retreat. Yang pelatihan kelompok."
"Ah... Masa lo lupa sih, Won?"
"Lah gimana Shinwon inget sih, Seok. Dia aja ketiduran minggu lalu, kan?"
"Ih. Ngeselin banget lo, To. Bukannya diingetin temen lo ini."
"Yaudah tar malem kerjain, Won. Jangan tidur lagi. Besok dikumpulin."
"Iye, Nan. Iye. Bantuin gue ngapa dah."

Yuto, Yanan dan Wooseok hanya bisa menggelengkan kepalanya pasrah punya temen gatau diri, sedangkan Minwoo ngakak sendirinya karena dari awal tau kalo Shinwon belum ngerjain padahal dari kemarin udah diingetin.

"Nu. HP lo getar ga si?"
"Eh?"
"HP lo doang soalnya yang dibikin geter."
"Ahaha. Oke. Oke. Gua permisi bentar, ya?"
"Okayy..."

Dengan segera, Minwoo mengangkat telpon yang ternyata Bu Kwon, sang ibu panti, menghubunginya.

"Selamat Sore, Bu Kwon."
"Selamat Sore, sayang. Hari ini ada kelas?"
"Ada, Buk. Tapi ini udah selesai, sih. Baru selesai makan siang sama temen-temen juga."
"Kamu makan siangnya sore begini?"
"Ya habisnya gimana, Buk... Tadi jadwalnya cuma sedikit jedanya, jadinya ga makan full, hanya ngemil siomay."
"Oh. Kirain ibu kamu sama sekali ga makan."
"Gamungkin juga bu, saya gamakan. Hehe."
"Oh ya. Nanti sorean ada yang ingin bertemu denganmu di SVTea Caffe jam enam sore. Kamu ga ada ngerjain tugas atau kerja kelompok, kan?"
"Gak ada, kok, Buk. Saya udah selesai ngerjain tugas untuk besok."
"Bagus. Orangnya nanti menunggumu di meja 7 lantai 1."
"Ya, Bu. Terima kasih."

"Ada apaan, Nu?"
"Ini... Bu Kwon. Ada orang yang mau janjian ketemu sama gua."
"Ih? Jangan-jangan lo mau dijodohin, Nu?"
"Hush. Ngawur banget anjrit mulut lu, Nan."
"Ya habisnya nanti pupus harapan gue kalo lo dijodohin sama orang."
"Siapa anjrit yang mau sama lu? Mending lu pulang dah daripada lu gangguin gua mulu."
"Galak banget, neng. Jadi makin demen."

Satu persatu, dimulai dari Shinwon, mereka menjitak dahi dan menginjak kaki Yanan secara sukarela.

Susah kalo udah bucin mah.

Remember, Love || MEANIE (WONGYU) | IDN ver.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang