ch. 2

628 98 11
                                    

Siang itu setelah rapat dengan manajerial, devisi pemasaran sedang kacau-kacaunya. Jieun dengan segala kerumitan yang bersarang didalam otaknya, harus memutar otak untuk mengembalikan keadaan. Dia tidak bisa begini terus, proyek ini harus timnya yang handle. Sekali lagi, jiwa kompetitif nya kembali berkobar.

Hoseok seolah mengerti kerumitan yang Jieun hadapi, ia dengan tenang menghampiri perempuan yang hampir menyentuh kepala tiga itu, dengan hati-hati ia berucap. "Aku tau Ji, kau sangat mampu menghandle proyek ini, tapi tidak bisa langsung sekaligus dengan proyek yang sedang dikerjakan anak pemasaran, bisa tumbang mereka semua," Hoseok dan Jieun menatap ke sekitar kubik. Dimana berkas berserakan, semua sibuk mengerjakan karena ada deadline hari ini juga.

"Ambisius mu itu kalau kau sendiri yang mengambil alih tidak masalah, namun tidak semua orang bisa seperti itu. Ku harap kau bisa mengambil keputusan bijak, mana yang benar-benar ingin kau ambil alih."

Perkataan Hoseok kembali memenuhi rongga otaknya yang kecil, serta kerumitan-kerumitan yang tengah ia hadapi bersamaan dengan permintaan bos menyebalkannya itu. Ingin sekali Jieun menguburnya hidup-hidup dibawah gedung kantornya ini. Biar saja gentayangan ia tak perduli.

Hoseok menepuk pundak Jieun pelan, kemudian berlalu meninggalkan devisi pemasaran, berlenggang menuju ruangan manajerial berada. Jika harus memilih, Jieun akan lebih memilih Hoseok untuk menjadi bos nya bukan pria menyebalkan yang kini tengah menatapnya, sembari terdiam di ambang pintu kaca.

"Jieun, keruangan saya." begitu titahnya.

Devisi pemasaran seketika diam, keheningan mulai menyelimuti. Hawa mencekam seolah menggerogoti. Eunji yang baru saja ingin menanyakan Jieun, mengubah pikirannya dan melangkah menjauh. Perang segera dimulai, genderang siap bertabuh, siapa yang akan maju dan menghunus pedang lebih dulu.

Mau tidak mau dengan wajah bersungut Jieun bergerak menuju keruangan bosnya itu. Entah perintah tak masuk akal apalagi yang akan bosnya katakan kepadanya. Ia pasrah, ingin mundur kebelakang pun sudah kepalang basah. Nasi sudah menjadi bubur.

***

"Jungkook aku dengar sudah mendapatkan, perempuan pilihannya yang akan ia ajak menemui kita nanti malam," suara wanita paruh baya mengusik rungu pria yang menyandang status sebagai suaminya tengah asik menghias bonsai sebagai hobi barunya.

Pria itu hanya tersenyum, susah dimengerti apa maksud dari senyuman yang tak berperasaan itu.

"Jangan ikut campur, biarkan dia menentukan mana yang terbaik untuknya. Apa tidak lelah dari kecil mengurusnya?" bela pria itu, tanpa mengalihkan perhatiannya dari tanaman anggun berpot emas.

Wanita itu kembali terdiam, mengingat masa kecil anak bungsunya. Saat ini sudah amat sangat dewasa. Banyak yang bilang ia dimanjakan, nyatanya tidak pernah ia diperlakukan dengan sendok emas di mulutnya.

"Waktu sangat cepat berlalu, baru saja aku melihatnya turun dari gendonganku dan berlarian di pekarangan. Sekarang sudah sebesar itu untuk memimpin sebuah perusahaan." Wanita itu menyeka air mata di pelupuk matanya.

"Kau sudah membesarkannya dengan sangat baik, anakmu sangat berbakti. Hingga membuat ia begitu dingin dengan sebuah perasaan dan lebih mementingkan perusahaan. Aku jadi khawatir akan kehidupannya nanti."

"Apa keputusan kita ini sudah tepat?" Wanita itu kembali bimbang, pergulatan emosi memenuhi relungnya. Takut-takut anaknya salah memilih dan malah terjerumus.

"Kita percayakan semuanya kepadanya, dia tidak pernah mengecewakan kita sebelumnya." Pak Jeon tersenyum hangat menatap istri kesayangannya. Insting seorang ibu memang lebih kuat.

***

"Ada apa pak memanggil saya, bukankah semuanya sudah sangat jelas? Kalau soal pekerjaan devisi pemasaran saya masih mempertimbangkan," ketus Jieun, enggan menatap bos dihadapannya.

"Nanti malam saya mau ajak kamu kerumah saya, bertemu dengan orang tua saya."

"APA?"

"Bapak bercanda sama saya?" tanya Jieun sekali lagi, mata bulatnya semakin membulat tidak mempercayai apa yang barusan didengarnya.

Jungkook masih bersikap tenang, "Apakah terlihat di wajah saya, saya tengah bercanda nona Jieun?"

Semua terlalu tiba-tiba bagi Jieun, mulai dari surat perjanjian dan sekarang harus bertemu orang tuanya, dosa apa yang telah Jieun perbuat sehingga cobaannya begitu berat.

"Lalu, kenapa saya harus kerumah bapak dan bertemu dengan orang tua bapak?"

Tatapan Jungkook mulai tak bersahabat, jangan mengusik air yang tenang.

"Oh.. mungkin nona Jieun ini tak sengaja membenturkan kepalanya sepulang dari tidur bersama yang sudah kita lakukan. Hingga membuatnya melupakan perihal yang sangat amat penting di hidupnya." beber pria itu dengan santainya. sedikit saja memainkan emosi Jieun membuatnya sangat senang. Kemenangan ada di depan mata.

"Jangan ingatkan saya tentang itu pak, saya sangat mengutuk diri saya sudah mengajak bapak minum bersama saya," dengus Jieun amat kesal. Jika diingatkan kembali kenapa sih dirinya harus seceroboh itu dan dengan entengnya tangannya menandatangani hal yang membuatnya jadi lupa diri. Ingin ia robek-robek mulut sialan bosnya itu.

"Baiklah kalau sekarang sudah ingat," senyum kemenangan pria itu menguat, tanpa perduli ekspresi Jieun yang ingin sekali menguburnya jauh didasar bumi bersamaan dengan adonan semen. "Saya harap nona Jieun tidak mengingkari apa yang sudah diperbuatnya. Sepulang dari kantor saya tunggu di basement. Kalau mengerti, kamu boleh pergi dari ruangan saya," selesai pria itu dengan segala titahnya.

Jieun melangkah dengan sewotnya tanpa berkata apa-apa lagi, ia hanya mengangguk menurut bagai ayam yang tengah di beri makanan. Ingin membantah pun percuma, yang ada hanya sisa-sisa penyesalan yang Jieun rasakan. Bos sialan, bos sialan, bos sialan, rutuknya.

"Memang dasar iblis sialan, seorang Jieun tengah terjerat perangkap iblis. Bagus Jieun ini semua ulahmu sendiri." rutuknya lagi pada diri sendiri sembari menatap wajah kacaunya itu pada pantulan cermin toilet. Ia memoles lagi lipbalm pada bibirnya yang mulai kering. Tak sampai sepuluh menit berhadapan dengan iblis tapi bagi Jieun rasanya sudah seperti sepuluh abad. Jieun sangat mengkhawatirkan siapa yang nanti jadi istri bosnya itu pasti akan tekanan batin menghadapi sikap arogan bosnya itu.

Kembali ia merutuki dirinya, mengingat senyuman pada wajah bos nya itu ketika menatap nya. Jieun seolah meyakinkan dirinya, sekarang bukan waktunya bergelut dengan penyesalan, tapi bagaimana caranya membalikkan keadaan. Seringai Jieun sembari terus membenarkan baju yang ia kenakan. Seolah di kepalanya telah banyak rencana-rencana yang akan ia gunakan nanti.


-bulunyabunny

drink with the bossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang