ch. 6

445 85 15
                                    

"Kamu pulang bareng saya, Jieun." Jungkook memberi penekanan pada ucapannya. Terdengar meminta namun seperti perintah.

Jieun masih terus berjalan mendahului keluar dari pintu restoran Jepang yang baru saja selesai mereka singgahi. Tidak terlalu mengindahkan apa yang bossnya itu katakan.

"Nggak usah pak, saya bisa pulang sendiri." Sahutnya, tak menyetujui ajakan pak bossnya itu.

Jungkook masih terus berjalan di belakangnya, jujur saja semakin ditolak semakin ingin dia melakukannya. Saat Jieun mulai melewati di mana mobilnya terparkir, Jungkook menarik lengan perempuan itu. Seketika saja membuat Jieun terhuyung mendekap dipelukannya. Mereka bisa saling merasakan deru nafas masing-masing yang seketika berhembus tak beraturan. Degup jantung yang bertalu dengan hebatnya. Jieun menelan salivanya paksa saat tak sengaja tangannya menyentuh dada berotot pak bossnya itu.

Pelukan itu masih tertaut kala angin malam manyapa kulit tubuh mereka. Entah tidak saling sadar, atau sekedar memastikan rasa yang ada. Jieun bisa merasakan pipinya yang bersemu merah ketika pak boss semakin lekat memeluknya.

"Bisa lepasin nggak pak?" Tanya Jieun dalam dekapan itu. Tanpa lama-lama Jungkook lekas melepaskan, tapi tangannya masih mencekal pergelangan tangan Jieun. Takut-takut perempuan itu lari darinya. Kenapa juga ia harus takut? Karena sudah mutlak Jieun akan selalu bersamanya.

"Makanya kalau saya bilang A tuh ikut aja, kenapa harus membantah dulu." Ujarnya sebal, memilih masuk ke dalam mobilnya tanpa menghiraukan Jieun lagi.

"Apa hal yang kek gini harus di debatin juga pak?" Jieun bertanya lagi saat dirinya sudah duduk dengan nyaman di sebelah Jungkook. Seat belt pun telah terpasang dengan rapi.

Jungkook hanya mendengus, menatap lurus ke depan. Tatapannya tajam, karena sebal akan dirinya sendiri. "Ya nggak bakal jadi debat, kalau kamu nurut apa kata saya." Balasnya.

"Bapak harus tau juga dong, kalo nggak semua hal itu nurutin maunya bapak." Ucapnya masih tak mau kalah. "Udah nih saya nurut, apa nggak mau dijalanin mobilnya? Mending saya turun lagi aja." Ancam Jieun, sembari tangannya kuat-kuat memegang seat belt yang membelit tubuhnya.

Mobil Jungkook akhirnya meninggalkan pelataran parkir restoran, setelah acara pelukan yang di bumbui dengan perdebatan. Jieun masih saja diam, malas betul rasanya ingin membuka suara, salah-salah malah jadi pertikaian lagi. Gimana nasibnya nanti kalau ia serumah dengan bossnya ini.

"Rumah kamu di mana?" Jungkook bertanya memecah sunyi diantara mereka.

Jieun masih menatap lurus ke depan, tangannya bersidakep di dadanya, rautnya sungguh sebal. Seolah siap memakan orang hidup-hidup.

"Masih jauh dari sini, pertigaan di depan itu belok kiri. Turunin saya di halte depan sana aja pak." Jawabnya malas.

"Saya pengen tau rumah kamu,"

"Tanpa saya bilang, bapak juga sudah tau sendiri rumah saya di mana."

Ngok.

Seperti tertangkap basah, Jungkook hanya diam. Sungguh perempuan yang pandai bicara, pantas saja divisi pemasaran tidak bisa berdebat dengan Jieun lama-lama.

"Bukan apa-apa, kamu kan calon istri saya. Jadi saya ingin memastikan saja." Ujarnya.

"Saya belum mengiyakan mau jadi istri bapak."

Jungkook seketika mengalihkan pandangannya ke arah samping, menatap raut Jieun. "Tapi kamu tidak bisa menolak Jieun, tidak ada pilihan tidak yang saya tawarkan ke kamu."

"Itu sendiri bapak tau, saya tidak punya pilihan. Kenapa bapak selalu memberikan saya pilihan yang bapak sendiri tau jawabannya." Jelasnya.

Sepanjang perjalanan mereka akhirnya saling bungkam. Membunuh waktu dengan diam. Jungkook tau ia terlalu memaksa, tapi ia tidak bisa melepaskan Jieun begitu saja.

drink with the bossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang