Kisah Tiga Pengemis

3 0 0
                                    

Di suatu malam yang panas di pinggir jalan Kota Jakarta, ada tiga orang dengan pakaian kumuh duduk di titik yang berbeda-beda. Mereka berbeda-beda, tetapi sama-sama “sedang mencari nafkah”, kata mereka. Tangan mereka mengambang diatas, menengadah seperti gaya klasik pengemis jalanan. Aku memanggil mereka Si Bejo, Si Rupawan, dan Si Malaikat. Sebutan ini kuberikan sesaat setelah aku selesai mewawancarai mereka lima tahun yang lalu. Ada alasan mengapa aku memanggil mereka seperti itu.

Si Bejo, dia ini sebenarnya orang yang beruntung. Istrinya cantik, terlahir dengan IQ cemerlang, dan orangtuanya pengebor batu bara. Aku bertanya padanya waktu itu, “Mengapa dikau bisa berakhir di sini?”. Jawabannya cukup membuatku terkejut, “Istriku terlalu cantik, ia menjadi incaran pria-pria berjas itu,” katanya angkuh sambil menunjuk gedung administrasi negara. “Otakku terlalu cerdas, aku tidak bisa menemukan pekerjaan yang pas dimanapun,” jawabnya sambil mengetuk ngetuk pelipisnya. Dengan meludah ke sebelah sepatuku, dia berkata “Orangtuaku sombong, aku benci orang sombong, dan………,”. Karena sudah tak tahan lagi, aku langsung memotong dengan agak kasar, “Apakah semua itu terjadi karena kau tidak pernah bersyukur?”. Dia terkejut, matanya mulai memerah dan berkerut. Ia mencengkram kerah bajuku dan menghajarku tepat di wajah. “Sudah kubilang aku tidak suka orang sombong.”

Aku berjalan tertatih-tatih sambil memegang hidungku yang sedikit berdarah, sambil terus berjalan ke ujung pertigaan karena tidak membawa motor. Maklum, tahun itu ojek-online masih menjadi hal tabu di sini. Di sana aku melihat Si Rupawan, yang memang sangat cantik. Aku mendekatinya perlahan, wanita itu menoleh padaku, “Woi, Lu mau ngapain? Jauh-jauh sana!”, sambil mengibaskan rambutnya. “Aku ingin menanyai dikau,” kataku sopan. “Duit,” katanya spontan. Dengan cekatan aku menyumpal mulutnya dengan uang Rp 50.000-an, setengah diantaranya uang palsu. Dengan terbatuk-batuk, ia berhasil mengeluarkan uang itu dari mulutnya, dan menyeringai padaku. “Makasih sayang,”. “Cih…,” kataku, lalu aku melihat banyak brosur di bawah kakinya, aku mengambil paksa dan menatapnya. Isi brosur itu adalah, “Prostitusi, jalan baru menuju Surga”, lalu aku mengambil brosur lainnya, “Modelling nomor satu di Jakarta!”. Aku bertanya mengapa dia tidak mengambil ‘pekerjaan’ itu. “Kuambil semua,” katanya bangga. “Semua? Yang kotor juga?” aku antusias bertanya. “Sayang, aku tidak peduli, aku butuh uang,”ucapnya terkekeh. “Dengan melakukan semua pekerjaan ini, kau pasti punya banyak uang, mengapa kau tetap mengemis, Cantik?” ucapku. “Aku butuh uang, Sayang,” ucapnya sambil mengecup pipiku.

Aku berjalan sambil membersihkan pipiku yang ternodai gincu dengan tisu basah. Di tengah perjalanan aku menengok ke kiri, dan melihat rumah Si Rupawan. “Lebih besar dari rumahku,” batinku. Di ujung jalan aku melihatnya, Si Sial. Ia sedang bermain dengan anak-anak dari panti asuhan. “Hai, Paman,” sapaku. “Hai, anak muda, sedang apa kau disini,” jawabnya sambil melirik ke kanan-kiri. “Hahaha, tenang saja paman, ormas sedang rapat di pusat kota,” kataku sambil terkekeh. Bukan karena itu saja aku terkekeh, aku juga tahu dia adalah seorang tuna netra. “Oh begitu, untuk apa kau kesini?” katanya lembut, aku menjawab ingin mewawancarai paman. “Wah, keren sekali,” ucapnya terbahak, aku ikut tertawa. “Ah, emmm….,” aku menahan ucapanku, lalu menatap kakinya, bengkok. Sebenarnya sebelum aku mendatanginya, aku sudah menanyai beberapa orang yang mengenalnya. “Mengapa dia bisa berakhir di sini?” dan “Apa yang terjadi padanya?”. “Tiga hari yang lalu kakinya terlindas bus,” ucap pengurus panti asuhan. “Dari dulu, kupikir sejak dia masih remaja” ucap penjual obat. “Kemarin ada yang mengambil uang di tangannya dan langsung lari, akupun langsung mengejarnya sambil berteriak “Maling!”, tetapi maling itu tetap tak terkejar,” ucap penjual jamu sedih. “Tidak ada, dia memang sial, itulah mengapa dia di sini,” kata tukang sapu jalan. Aku menatapnya dengan berkaca-kaca, dia mirip dengan ayahku yang sudah meninggal. Aku tidak jadi bertanya mengapa dia berakhir di sini. Sebagai gantinya, aku bertanya  “Apakah dikau bahagia?”. Dia mendongakkan wajahnya, seakan dia bisa melihatku. “Aku bahagia,” jawabnya sambil tersenyum. Dengan menahan tangis, amarahku memuncak, lalu aku berkata, “Paman, Kau hidup sial, kau sial, dikau adalah orang paling sial yang pernah kutemui, apakah aku tidak tahu? Tuhan adil pada semua orang kecuali padamu, bagaimana….., bagaimana kau bisa bahagia!!” ucapku tak sopan sambil setengah berteriak. Malah aku yang terkejut, dia meraba-raba udara dan berhasil menggenggam tanganku erat, dia berkata padaku, “Anak muda, siapa namamu?”. Tangisku pecah, “Danis,” jawabku terisak. “Danis, Tuhan tidak perlu membuatku sempurna agar aku bahagia,  karena aku sudah bahagia,” ucapnya. Aku bertanya, “Tanpa uang? Tanpa kekuasaan? Tanpa kenormalan?”. Beliau menjawab, “Tanpa semua itu, takdir Tuhan membuatku sempurna, dan aku percaya itu”. Tanpa sadar aku memeluknya, lama, seperti saat aku memeluk ayahku di saat terakhirnya. “Kesempurnaan membawa kebahagiaan,” ucapku miris. “Bukan, bersyukur membawa kebahagiaan,” kata beliau. Tak tahu mengapa, tetapi aku tertawa karena ucapan tersebut. “Ternyata aku harus lebih banyak bersyukur ya, Ayah,” ucapku pada beliau. “Ayah?” ucapnya bingung. “Sudah lupakan saja, Paman,” jawabku terkekeh. Akhirnya malam itu kuhabiskan dengannya, kami makan bersama sambil bertukar cerita. Kami tertawa, merenung, terkekeh seperti tak ada hari esok. Sampai akhirnya subuh, aku berpamitan padanya. Saat perjalanan pulang, dalam benakku, aku mengganti julukan beliau. Beliau bukanlah Si Sial, beliau adalah Si Malaikat.

Lima tahun sudah berlalu, dan sudah lima tahun pula aku menjadi reporter. Aku sedang iseng mengobrak-abrik laciku dan menemukan sebuah file using, yang berjudul “Kisah Tiga Pengemis”. Lembar pertama, bertuliskan “Si Bejo”. “Dasar orang tua brengsek!,” pikirku. Lalu kubuka lembar kedua, “Si Rupawan”. “Apa yang sedang dilakukan wanita ini ya sekarang? Mungkin masih butuh uang,” renungku. Lalu kubuka lembaran ketiga, kosong. Aku langsung melesat ke meja kerjaku dan langsung membuka laci barang ‘penting’-ku. Di sana aku menemukan lembaran ketiga, bertuliskan “Si Sial Malaikat”. Aku ingat sempat ber-swafoto dengannya, lalu aku mencetak foto itu dan menempelkannya di lembar ini. Aku rindu padanya, padahal kemarin aku baru saja mengunjungi pemakamannya. Banyak orang yang datang pada hari itu. Mereka, termasuk aku, mengenang kembali masa indah bersamanya, dan dia sekarang sudah berada di tempat terindah di sisi-Nya. “Jangan sombong, jangan serakah, dan selalu bersyukur,” ucapku. “Aku akan selalu mengingat itu, Paman, selamanya,” ucapku bahagia.

Antologi SastraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang