28.Iri

2.6K 347 75
                                    

"Ulangannya susah banget anjir! waktu diajarin perasaan enak banget nyampe di otak," dumel Zahran, jika saja mengumpati orang tua bukan dosa besar, pasti ia sudah mengumpati guru fisikanya yang tiba-tiba menyelenggarakan ulangan dadakan.

"Biasanya nggak susah-susah banget, tapi kok sekarang gue lupa sama rumus-rumusnya, ya?" curhat Alva.

"Lo kebanyakan absen, sih, akhir-akhir ini."

Alva mengangguk-angguk, setuju dengan pendapat Ezra.

"Kantin nggak nih?" tanya Zahran sembari menatap Alva, begitu pun dengan Ezra. Seakan memberi Alva kesempatan untuk menentukan jawaban.

"Gue bawa bekel," keluh Alva dengan bibir bawah yang terlipat.

"Gue sama Ezra ... ke kantin, ya?" izin Zahran dengan sedikit kaku, takut Alva merasa tak dipedulikan.

"Yaudah sana, jangan lama-lama."

Zahran sontak beranjak dari bangkunya, yang kemudian disusul Ezra. Keduanya pergi menjauh dari area kelas, meninggalkan Alva yang sedang memandangi kotak bekalnya tanpa nafsu.

Kalau tidak dimakan, ia agak kasihan dengan Rion yang sudah rela bangun pagi-pagi sekali untuk memasak. Dengan tujuan jika gagal dalam percobaan pertama, masih ada banyak waktu untuk mengganti menu.

Gini-gini, ia masih punya belas kasihan, ya.

Netra Alva meliar, berusaha mencari temannya yang juga membawa bekal. Setelah menemukannya, ia beranjak. Tak lupa membawa kotak makan dan botol minumnya.

"Hai Kean, lo bawa bekel juga?" tanya Alva, sekedar basa-basi.

Kean yang baru akan melahap makanannya menyempatkan diri untuk menoleh pada Alva. "Iya, kenapa?"

Alva menggeleng. "Yaudah sana dimakan, nunggu apa?"

Begitu Alva mulai menikmati makanannya, Kean pun ikut memakan bekal miliknya. Setelah menuntaskan makanannya, Alva beranjak. "Thanks tumpangannya, Yan."

Kean hanya mengangguk, membiarkan Alva berlalu dari bangkunya.

Alva meletakan kotak bekalnya di laci, kemudian berjalan keluar dari dalam kelas. Hendak menyusul dua teman tiangnya di kantin. Padahal, ia sendiri tak tahu kedua temannya itu masih ada di sana atau tidak.

Tiba di lapangan, ternyata masih ada beberapa siswa yang sedang bermain bola. Ada Rafa juga di sana, tapi Alva memilih abai. Selagi ada jalan untuk dilewati, kenapa tak dicoba?

Mungkin, ia juga tak sadar jika salah satu sosok di tengah lapangan itu sudah siap melemparkan bola basket ke arahnya.

Pyar

Semua siswa yang sedang berlalu lalang sontak memusatkan perhatian pada bola basket yang memecahkan kaca jendela ruang kelas.

Alva mengelus dadanya terkejut, kemudian mengalihkan pandang pada sosok yang berdiri di sebelahnya. Sosok yang membuat bola itu tak jadi mengenai tubuhnya.

"Kevin?"

"SIAPA YANG LEMPAR BOLANYA?!"

Suasana yang tadinya riuh, berubah hening ketika sosok guru lelaki paruh baya dengan kacamata yang bertengger di atas hidungnya mendekati tempat kejadian perkara.

Semua sontak menatap Kevin.

Pak Esa—guru tersebut—mengikuti arah pandang murid-muridnya, kemudian berjalan ke arah di mana Kevin berdiri. "Kamu yang pecahin?"

Kevin mengangguk tanpa ragu, justru Alva yang cemas. Kevin kan tidak sengaja, lagipula hal itu dilakukan untuk melindunginya.

"Pak, tapi kan Kevin nggak sengaja."

AdelfósTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang