34. Untuk Esok

2.9K 353 61
                                    

Alva menyunggingkan senyum tipis ketika melihat tiga sosok manusia memasuki ruang rawatnya.

"Hai, Al!" sapa Areta—salah satu dari tiga sosok itu—dengan riang.

"Hai ... Kak Reta ... hai juga kak Kenan."

Kenan hanya mengangguk kecil, lantas berjalan mengikuti langkah Dava dan Areta di depannya. Ia merasa seperti orang asing di sini, padahal mereka sudah sangat sering berinteraksi. Meski bukan interaksi dalam artian yang baik.

"Gue mau ngomong sama kak Kenan dulu ... kak Dav sama kak Reta keluar dulu sana," usir Alva yang kemudian menimbulkan decakan Dava.

"Nggak bisa gue biarin lo berdua doang sama manusia kaya dia," cetus Dava sembari melempar lirikan tajam pada Kenan.

Alva menghembuskan napas cukup panjang, sepertinya ia sudah meminta Dava untuk berbaikan dengan Kenan, tapi kenapa mereka masih terlihat seperti musuh sehidup-semati?

"Kalo kak Kenan macem-macem, gue juga nggak bakal diem aja kali."

Tatapan Alva beralih pada Areta yang sejak tadi hanya diam menyimak. "Kak bawa kak Dava keluar dulu dong."

"Biarin aja dulu, ya, Kak? kasih ruang buat Alva ngobrol sama Kenan," himbau Areta.

Setelah mempertimbangkan keputusan beberapa saat, Dava akhirnya mengangguk. Tatapannya mengarah pada Kenan, lalu Alva. "Kalo ada apa-apa teriak aja."

Dava dan Reta keluar dari ruangan Alva setelahnya.

Melihat Kenan masih berdiri dengan jarak yang cukup jauh darinya membuat Alva menghembuskan napas kasar.

Tanpa menunggu perintah dari Alva, Kenan berjalan mendekat. Duduk di samping brankar Alva. Netranya menatap tangan kurus Alva, kondisinya nampak jauh lebih memprihatinkan dibanding kondisi terakhir sewaktu dirinya bertemu anak itu. 

"Lo udah tau 'kan, Kak, kenapa kak Dava nyuruh lo ke sini?"

Kenan mengangguk, tanpa menatap Alva, ia berkata. "Harusnya gue yang inisiatif minta maaf ke lo, bukan sebaliknya."

"Tapi gue juga salah."

Tak ada sahutan dari Kenan, ia tak tahu harus mengatakan apa lagi. Jujur, melihat kondisi Alva yang seperti ini membuatnya merasa bersalah. Ya, sekeras apa pun watak Kenan, ia masih memiliki hati nurani untuk turut merasa iba.

"Gue tau lo pasti kesel sama omongan gue, kesel sama tingkah kurang ajar gue, kesel sama kelakuan gue yang nggak ada takut-takutnya kalo lagi berantem sama lo, terus kesel gara-gara gue sering deket-deket sama kak Reta. Gue mau minta maaf karna itu semua. Kalo gue udah nggak ada nanti, jangan dendam sama gue atau siapa pun orang yang ada di sekeliling gue, ya, Kak. Kalo lo mau marah, marah aja sekarang."

Napas Alva terasa sedikit sesak begitu ucapannya selesai, sehingga ia terbatuk beberapa kali hingga membuat Kenan yang masih betah diam langsung bergerak panik.

Melihat Kenan hendak berjalan menjauh, Alva cepat-cepat mencegahnya. "Jangan, Kak."

Langkah Kenan berhenti, ia memutar tubuhnya. Menatap Alva yang kini sanggup bernapas dengan leluasa. Tak kembali terhalang oleh rasa sesak.

"Kak, gue udah ngomong panjang lebar sampe sesek, lo nggak mau bilang apa gitu?"

Kenan menghela napas panjang, kembali duduk pada kursi lipat di samping brankar Alva.

"Iya, gue emang kesel banget sama lo. Tapi bukan berarti gue nggak suka. Ada satu omongan lo yang berhasil bikin gue sadar ...."

Satu alis Alva terangkat. Apa iya ucapannya yang asal ceplos bisa membuat orang lain tersadar dari kesalahannya?

AdelfósTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang