35. Selamat Tidur

5.2K 462 211
                                    

"Hai ...."

Sosok wanita berhijab dengan paras anggun berjalan perlahan ke arah brankar Alva. Senyumnya mengembang hingga muncul lesung pipit pada pipi kanannya, sangat manis.

Alva mengerjap dua kali sebelum akhirnya ikut tersenyum. Pintar juga ternyata kakaknya mencari calon pendamping hidup.

"Kak Hasna 'kan?"

Hasna mengangguk, kemudian duduk pada kursi besi di samping brankar. Netra bulatnya menatap wajah pucat Alva. "Kamu udah enam belas tahun 'kan?"

Alva mengangguk patah-patah, agak bingung kenapa calon kakak iparnya itu tiba-tiba bertanya demikian.

"Kok mukanya masih imut, sih?" goda Hasna, kemudian terkekeh pelan. Yang mana membuat Alva ikut tertawa kecil, malu juga ia sebenarnya karena dipuji imut. Walaupun ia memang memiliki aura babyface, tapi perangainya itu kan ...

menyerupai iblis.

"Bawaan anak bontot kayanya, Kak," sahut Alva seadanya.

"Loh tapi aku kok nggak imut kaya kamu? aku juga anak terakhir."

Alva terkekeh canggung. Tak tahu harus membalas dengan kalimat apa.

"Rion sering curhat tentang kamu loh, Dek."

"Curhat gimana, Kak?"

Bola mata Hasna bergulir ke atas dengan kernyitan tipis di dahinya, bentuk ekspresi berpikir. Setelahnya kembali menatap Alva dengan senyum simpul.

"Katanya Alva itu bandel ... cerewet ... cengeng ... sering ngeluh ... banyak tingkah ... terus hobi mancing emosi orang." Ada senyum geli yang terpatri pada wajah Hasna setelah menyelesaikan kalimatnya dan mendapati wajah kesal Alva. Tak terima jika image-nya dipandang buruk.

"Ih hoax itu!" Inginnya Alva juga mengadukan beberapa sifat Rion yang tak jauh berbeda dengannya, tapi mengingat kondisinya yang tak memungkinkan akhirnya ia hanya mampu menyangkal fakta yang ada.

Hasna mengangguk, ia juga sudah diberi pesan oleh Rion jika Alva tak boleh banyak mengeluarkan tenaga, walaupun hanya untuk berbicara.

"Iya, ya. Masa' makhluk nggemesin kaya kamu sengeselin itu?"

Senyum puas tercetak pada wajah Alva.

"Al ... jangan pesimis sama hidup kamu, ya?"

Senyuman yang tadinya terbit dengan begitu cerahnya kini meredup, netranya beralih menatap selimut yang menutup kakinya. Diam beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab. "Kalo masalah itu ... kayaknya aku nggak bisa, Kak."

Satu alis Hasna terangkat. "Kenapa nggak bisa?"

Alva memejamkan mata ketika rasa pening tiba-tiba menyerang kepalanya. Ekspresi Hasna berubah panik seketika. "Alva? kamu kenapa? ada yang sakit? perlu aku panggilin dokter?" 

Dengan masih menahan rasa sakit, Alva menggeleng pelan sembari menyunggingkan seulas senyum. "Nggak pa-pa, Kak. Udah biasa, kok."

Bola mata Hasna berkaca-kaca. Padahal ia bukan tipe wanita yang mudah menangis, tapi ketika melihat sendiri perjuangan Alva, ada rasa sakit yang turut Hasna rasakan di dalam dadanya.

"Jangan nangis, Kak. Nanti aku dimarahin kak Rion." Suara Alva yang lirih berbaur dengan kekehannya yang hambar.

Hasna tersenyum, kemudian menggeleng. "Aku nggak nangis, nih."

"Kak, kalo waktu pernikahan kak Rion sama kak Hasna aku nggak bisa dateng ... maaf, ya?"

"Harus dateng dong? masa di hari sakralnya kakak kamu, kamunya nggak dateng?"

AdelfósTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang