17 Maret 2014

11 1 0
                                    


Sudut danau itu menyerap terik yang menyapa. Pantulan birunya langit membuatku semakin yakin bahwa hari ini sangat cerah. Aku kembali menunduk yang sejak lima belas menit tadi menengadah angkasa. Banyak hal yang aku pertanyakan kepada yang diatas sana. Banyak hal yang aku adukan kepada sang pencipta.

Aku butuh teman dalam berbagi kesedihan yang sudah tak terbendung lagi. Kesedihan yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Sudah hampir dua puluh menit aku menanti seseorang di tepi danau itu. Namun hingga saat ini, dia belum menampakkan rautnya. Datang atau tidak dia hari ini. Dua kata itu selalu bercekcok didalam hati yang putus asa.

“Lady Rose” teriakan itu mengakhiri percekcokan didalam hatiku. Aku tersenyum dan melambaikan tangan kearahnya. Dia masih sangat jauh sekitar 100 meter dari hadapan ku. Dia sedang sibuk melepaskan kaitan helm disamping sepeda motornya. Kemeja berwarna biru membalut tubuhnya. Dengan kancing yang terbuka dan didalamnya terdapat kaos hitam yang menjadi pelengkap. Beberapa detik terlewati, akhirnya aku mampu menjabat tangan penuh kasih itu.

“Ado apo Sis? kok ngajak aku ketemu. Gek aku keno marah cowok mu pulok.” Aku tak menanggapi perkataannya, mataku berkaca-kaca seolah beban berat telah menimpa hidupku. Ya beban itu memang sangat berat.

“Nico!!” aku mendekatinya seolah menahan air mata yang siap membasahi bumi. Namun Nico masih tak mengerti maksud dari kekalutan yang aku perankan.

“Ngapo Sis, ado apo kau mau cerito tentang penyakit mu. Kau sakit apo Sis?” aku menghapus air mata dan tiba-tiba tangisku menyerang.

“Papa!!” ya hanya kata itulah yang mampu aku keluarkan. Papa, laki-laki yang sangat aku cintai telah pergi meninggalkan kami. Papa, tulang punggug harapan keluarga kami telah menemukan hidup yang baru. Kesedihan yang aku sembunyikan sejak 5 maret 2014 akhirnya benar-benar tumpah dihadapannya.

Aku menceritakan semua peristiwa menyedihkan itu. Peristiwa dimana keempat adikku menagis dihadapan jenazah Papa. Ya Tuhan betapa malangnya nasib ini. Melihat Mamak, yang harus menjadi janda yang menghidupi kelima putrinya. Saat itu harapanku benar-benar hancur. Aku tak tahu bagaimana kelanjutan hidup kami tanpa Papa.

Tawanya, masih terlihat jelas dihadapanku. Keindahan masa kecil saat bersama Papa, masih terus tayang di ingatan. Saat Papa menggendong aku dan menaikkan aku di punggungnya. Oh Tuhan, harus bagaimana untukku menerima kenyataan ini. Papa yang selalu menantikan kepulanganku. Selalu menantikan keberhasilanku. Ya Tuhan, bahkan Papa tidak memiliki kesempatan untuk melihat aku memakai Toga. Sungguh menyedihkan. Entahlah, 5 Maret 2014 menjadi sejarah paling buruk dalam hidupku, bukan hanya aku tapi seluruh keluarga besarku.

Nico memang pendengar sekaligus penasehat terhebat yang aku temukan. Meskipun dia menasehatiku besama linangan air matanya, namun dia mampu mengurangi beban berat yang aku dapat selama ini

“Jangan nangis lagi Sis, kehilangan itu wajar tapi kau harus kuat. Kalau kau nangis cak ini dak akan biso Papa mu idup lagi. Justru kalo kau berhasil Papa mu pasti akan bahagia disano. Harus rajin berdoa buat Papa mu. Aku yakin kau biso ngadepi semuo ini, kau wanita hebat yang pernah aku temui. Aku yakin kau pasti berhasil Sis. Kau bakal jadi kebanggan keluarga mu. Kau harus kuat demi Mamak mu, Papa mu dan adek-adek mu. Kau anak sulung Sis, harus jadi contoh yang baik untuk keluarga mu, udah jangan nangis lagi yo.” Dia menyandarkan kepalau di bahunya.
Dia menghapus air mata ku, seolah tak menginginkan kesedihan itu datang kembali. Ya Tuhan,  alangkah bahagianya aku bisa memiliki pria seperti Nico. Sudahlah, aku tak mau semakin merumitkan dia jika memasuki hidupku yang terjal ini.

“Nico,” sambil menghapus air mata aku menatapnya dalam

“Iyo Sis.”

“Ado hal yang mau aku ceritoi lagi samo kau.”

“Apo Sis?”

“Sebelum Papa ku meninggal, Papa ku nitipkan aku samo Ezza cowok ku.” Aku menunduk. Tidk berani manatap matanya.

“Jadi Papamu nyuruh kau nikah samo Ezza?” nada suaranya terdengar lebih keras.

“Secara tidak langsung sih cak itu Co. Selamo Papa sakit, Ezza yang ngerawat Papa di Dusun Co. Itulah sebabnyo Papa percayo samo Ezza.” Dengan menyesal aku kembali memperjelasnya.

“Berarti katik lagi harapan aku untuk hidup samo kau Sis.” ya Allah melihat Nico kembali bersedih aku merasa sangat bersalah.

“Hanya Allah yang tau Co.”

“Semoga ado keajaiban biar aku biso miliki kau sepenuhnyo Sis, bahkan sampe saat ini perasaan ku ke kau masih tetep samo idak berkurang samo sekali. Perasaan yang aku punyo udah milik kau galo Sis, dak ado lagi yang biso ngerebutnyo.”

Pernyataan itu langsung menimbulkan kembali beban dalam hatiku. Aku tak mengira berita yang aku berikan kepadanya menjadi seberat ini. Ya Tuhan, bebaskan aku dari beban yang terus bertubi-tubi menyusuri hidupku.

“Kau nangis Co?” aku kaget dan sepontan menegurnya yang ternyata telah meneteskan air mata.

“Idak Sis, aku Cuma takut kehilangan kau.”

“Aku dak apo-apo Co, berdoa bae samo Allah semoga kito disatukan lagi.”

“Aku yakin kau bakal balek samo aku lagi Sis, aku percayo keajaiban akan nemui aku dan menyatukan kito”

“Co, kau tau kan hati ku sepenuhnyo milik kau? “ aku berusaha menghiburnya denga kata-kata ku.

“Sis!!!” dia sedikit berteriak dan tiba-tiba mengusap bibirku. Di perlihatkannya kepadaku. Darah segar itu tak terasa telah mengalir melalui celah bibir ku. Ya Tuhan, aku tak bisa bersembunyi di balik sakit ini.

“Sis, kau sakit apo? cerito samo aku.” ekspresi panik itu kembali terlihat dari wajahnya. Rasa takut kehilangan membuatnya meneteskan air mata.

“Aku dak apo-apo Co, cuma panas dalam bae.” aku mengusap sisa darah dengan ibu jariku.

“Kau belum perikso kerumah sakit Rose?”
Aku bungkam tak memberi penjelasan apapu. Padahal aku sangat ingin mengatakan bahwa kondisiku sangat buruk dan aku sangat membutuhkannya. Tidak, aku tidak mungkin membebaninya biarkan dia perlahan membenciku. Biarkan dia perlahan melupakan aku.

“Sis.” sapaan itu kembali menyadarkan aku dari fikiran yang membesit

“Aku dak apo-apo Co, kemaren udah perikso kato dokter aku dak apo-apo.”

“Syukurlah kalo cak itu.”

Aku duduk bersebelah dengannya, sambil mengayunkan kaki ku setengah memasuki air danau yang jernih dan dingin itu. Bahunya yang terlalu tinggi sangat sulit aku sandari.  Menit-demi menit kesedihan mulai berubah menjadi tawa. Ada saja hal yang membuat aku bahagia saat bersamanya.

“Sis, kau idak kuliah? “ sambil memakan martabak manis.

“Ado jam kuliah hari ini Co” sambil memainkan air dengan tanganku.

“Jam berapo?”

“Jam limo Co.”
Gemuruh suara angin terdengar mencekam. Namun hal itu tak membuat kami takut. Hanya tawa yang tersirat. Tentu saja hujan tak pernah berhenti mengikuti kami. Akhirnya aku bisa kembali menikmati hujan bersamanya.

Aku kembali menatap tawa lebarnya di balik hempasan air yang menjatuhi wajahnya. Kami kembali menyatu dengan hujan. Namun kali ini aku tak berbicara. Karena aku bingung kata apa lagi yang harus ku ucapkan. Aku kehabisan stok kosa kata untuk memperpanjang obrolan bersamanya. Yang jelas aku tak pernah merasa bosan ketika bersamanya. Karena hal indah selalu datang menghampiri. Seperti saat ini, hujan kembali memperindah goresan kisah disenja itu.

Halo sahabat pena.. 😍 aku update lagi setelah sekian lama.. maafkan yah. 😭 mimin banyak kesibukan akhir-akhir ini.. jangan lupa vote dan komen ya teman-teman. Eh sekalian di share ya. 😍 aku doakan semoga kalian selalu diberikan kebahagiaan. Aamiin

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nico Dan Hujan (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang