Sang Bali

20 3 0
                                    

“Wah Pak, topengnya bagus sekali ya,” ujarku

Kala itu aku sedang berada di pelataran toko, aku melihat banyak sekali dupa disana. Di atas, di dinding-dinding toko, terdapat banyak sekali topeng. Aku kebetulan adalah seorang penari, dan aku sangat menyukai tari topeng, bahkan aku memiliki banyak koleksi topeng di Cibubur.

“Merah, putih, hitam….. sebentar,” ujarku.

Aku masuk ke dalam toko tersebut, aku sangat terkejut. Di dalam sana banyak sekali topeng berbentuk wajah manusia asli, memenuhi dinding reot tersebut. Tragis, mirip sekali dengan aslinya. Ekspresi mereka? Kupikir sama seperti saat-saat terakhirnya, menyedihkan.

Aku memegang topeng wajah seorang pria, yang agak tampan, lalu memandanginya.  Tiba-tiba aku merasakan ada tangan yang menyentuh pundak kananku. Aku pun terkejut. Aku berbalik, melihat bapak itu dengan teliti.

“Eeeee…., maaf, Saya tidak bermaksud mengagetkan nona,” ucapnya sambil mengusap kepalanya yang botak itu.

“Tak apa pak,” ujarku sambil meringis.

Lalu bapak itu langsung mengambil topeng dari tanganku, tanpa basa-basi ia berkata.

“Mau? Lima belas ribu saja,” ujarnya.

“Baiklah,” ucapku, aku memberikan uangnya dan langsung keluar dari toko itu. Aku tidak berniat melihat-lihat barang lain karena merasa bahwa topeng-topeng pria lainnya memandangiku.

Lalu aku kembali ke penginapanku, setelah mengobrak-ngabrik koperku, aku tidak bisa menemukan topeng hitamku. Aku panik, besok adalah festival tarian dan aku akan menarikan tarian kematian untuk nenekku. Lalu aku memandang topeng wajah itu, masih terbungkus rapi oleh plastic wrap.

Aku membuka bungkusnya, lalu mengamati topeng tersebut. Aku menemukan sesuatu yang menarik. Di belakang muka si topeng, di bagian yang akan mengenai wajahku saat memakainya, terdapat sebuah stiker. Bertuliskan “Topeng kematian”, yang sudah tercoret pulpen.

“Besok aku harus menarikan tarian itu, apapun alasannya,” ucapku penuh keyakinan.

Keesokan harinya…

Aku memakai topeng itu, lengkap dengan pakaian adat Bali. Rupaku sekarang sudah mirip seperti dayang-dayang dewa kematian, hitam dan merah. Setelah melakukan pemanasan sebentar, aku langsung memasuki arena pendopo tersebut.

Musik mulai dilantunkan, nada-nadanya haru dan seram, membuat perasaan sedih dan takut. Aku meliukkan tubuhku seperti siluman ular. Semakin lama, gerakanku semakin cepat dan lincah. Aku menikmatinya. Ada rasa bahagia setiap aku menggerakan badan, rasanya seperti, aku bisa menari selamanya.

Setengah lagu berjalan, kepalaku lama-lama pusing. Pandanganku mulai kabur. Aku ingin pingsan, tetapi ragaku menolak, dan jiwaku menentang. Aku telah dikendalikan, dan aku masih terus menari. Setelah kedipan yang ke 4, yang kulihat dari mataku bukan para penonton, melainkan padang merah yang sangat luas dan berkabut.

Aku sendirian di situ, sampai aku melihat dua orang dari kejauhan, mereka melambai padaku. Aku langsung menghampiri mereka. Ternyata, mereka berdua adalah nenekku dan pria yang mirip sekali dengan topeng yang sedang kupakai. Aku sangat girang saat melihat mereka, tetapi kebahagiaanku hancur seketika.

Ada sebuah tangan yang sangat besar dan berotot menyergap nenek dan pria itu, dan memasukkan mereka ke mulutnya yang bertaring. Mereka dikunyah, dan cairan merah mereka berhamburan kemana-mana. Aku memandang ke atas. Aku terkesiap. Leak, yang sangat besar. Berwarna hitam legam, matanya merah menyala, taringnya setajam silet. Satu hal yang tidak bisa aku deskripsikan darinya, yaitu aura yang dikeluarkannya. Tapi aku sangat yakin, bahwa itu adalah aura kematian.

“Sang Bali,” ucapku lemah.

Kabut sudah pudar, aku bisa melihat wanita lain yang menari di sekelilingku. Tiba-tiba aku lanjut menari, bedanya bukan aku yang mengendalikan tubuhku. Dengan susah payah aku mendongak, dan aku sadar bahwa wajah leak itu mirip dengan penjual topeng kematian itu.

“ASKOKKFHBOJLDNLMCSNOIWHNGFPIWMDPOJMXKLWFNEPPS, KYAKKK,” ucapnya seram.

Dan begitulah ceritaku, berakhir di sini, di padang merah berkabut. Dan aku akan menari selamanya, untuk selama-lamanya, sampai semua tulangku patah, dan ajal menjemputku.































Tapi aku tidak akan bisa mati di sini.

Malam Jumat HororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang