Awalnya, mereka berjumlah lima belas orang.
Bulan Juli tahun 2007, Dina, Tata, dan Syakila tahu bahwa mereka akan satu sekolah lagi saat masuk SMP, di sebuah pondok pesantren di perbatasan Sragen dan Ngawi, sebuah pesantren yang katanya modern dan mereka bertiga tidak tahu apa yang dimaksud modern. Harapannya mereka dapat membawa ponsel, karena setiap anak akan memiliki ponsel pertamanya setelah lulus SD. Meski orangtua mereka yang juga merupakan satu gank dalam lingkungan wali murid berkali-kali memberitahu bahwa mereka tidak akan bisa membawa ponsel ke pesantren karena itu tidak diperbolehkan, mereka masih tetap ingin ponsel baru.
"Nggak usah dibelikan hape, ya Mbak. Kan nanti juga nggak bakal dibawa" meski dikatakan dengan lemah lembut oleh Ibunya, Tata masih tetap manyun dan tak terima dengan keputusan orangtuanya.
"Katanya'modern''' sungutnya.
Hari Jumat, ba'da ashar, Dina, Tata dan Syakila datang satu rombongan dengan minibus yang orangtua mereka sewa bersama. Gerbang pondok terbuka lebar, mengekspos pesantren dan para santrinya yang sedang melakukan aktivitas pada dunia yang biasanya akan bertanya-tanya siapa yang sedang berlari-lari dari apa?, kedatangan mereka disambut dengan para santri yang memakai kerudung biru muda yang terlihat sangat aneh karena karena itu seperti sebuah pengecualian untuk para pemakai kerudung biru muda tersebut, setidaknya mereka semua, para santri, sangat ramah.
Pada dasarnya Ponpes Modern Al-Mufakirin itu bukan pesantren yang besar, bahkan cenderung kecil dibanding dengan Ponpes modern yang lain, luasnya seluruh bangunannya saja sekitar lima hektar, ketika gerbang dibuka, siapapun yang masuk akan disuguhi dengan bangunan membentuk letter U yang berupa kamar untuk santri dan ustadzah serta ruang administrasi selebar dua ruangan yang berfungsi sebagai kantor dan tempat penyimpanan segala hal-hal penting, dan biasanya tidak ada yang terlalu memperhatikan bahwa di ujung pojok kanan ada sebuah lorong yang akan mengantarkan pada wilayah kelas yang dipakai untuk kegiatan belajar mengajar setiap hari. Masjid terletak di belakang kelas, untungnya tidak perlu melewati lorong karena gedung kelas sudah cukup seram di malam hari. Meski sepertinya pesantren Al-Mufakirin itu biasa-biasa saja, karena pesantren tersebut masih satu yayasan dengan SD tempat Tata, Dina dan Syakila sekolah dulu, orangtua mereka percaya bahwa pesantren tersebut cocok untuk pendidikan mereka di tahap selanjutnya.
Tidak ada rasa kehilangan yang berarti saat para trio ditinggal pulang orangtua mereka, karena mereka bertiga saling kenal, akan menghadapi Pondok Pesantren bersama, tanpa basa-basi memperkenalkan diri pun mereka sudah punya teman. Lagi pula tidak perlu punya teman baru dulu. Bahkan mereka mendapat almari yang berjajar, saling bersampingan, tidur pun mereka akan selalu berdekatan. Sayangnya Syakila tidak bisa menahan rasa terganggunya ketika salah satu santri baru, yang entah bernama siapa, menangis sejak ditinggal orangtuanya. Ditawari makanan dari kakak santri tidak mau, ditawari jajan dari teman tetangga alamarinya juga tak mau, bahkan Tata tadi juga mencoba untuk mengajaknya mengobrol juga tidak ada tanggapan berarti. Sampai malam ketika semua bersiap tidur, anak cengeng itu masih mengeluarkan air mata, menangis terdiam, dalam tidurnya di depan alamarinya, miring ke kiri menghadap ke tembok. Sungguh malang sekali nasibnya.
Esok paginya ada sebuah sambutan kecil dari Ustadzah Pengasuhan. Dina, Tata, dan Syakila tidak paham apa itu 'Pengasuhan'. Setelah acara sambutan kecil itu, para anak baru dipersilahkan untuk memperkenalkan diri di depan para santri. Saat momen itu, Syakila sadar bahwa pesantren tempatnya belajar adalah pesantren kecil karena bahkan seluruh santri putri ketika dikumpulkan tidak sampai 80 orang santri. Syakila benar-benar menghitungnya secara diam-diam. Saat sesi perkenalan Syakila tahu bahwa angkatannya berjumlah lima belas orang dan anak cengeng yang wajahnya masih sembab saat perkenalan itu bernama Yosi. Syakila yakin bahwa semua orang sangat mudah mengenal Yosi si cengeng.
KAMU SEDANG MEMBACA
What next? Who Next?
Teen FictionYosi, Dina, Puput, Luluk dan Hanum bertemu dalam pesta pernikahan Tata. Enam perempuan bersahabat tersebut menerka-nerka mengapa salah satu sahabat mereka, Tika tidak datang. Dalam pesta pernikahan (slash) reuni yang berlangsung selama kurang lebih...