Sesampainya di rumah Dina, Yosi, Hanum dan Puput disambut oleh Ibu Dina, mereka dipeluk dan diciumi satu-satu oleh Bu Karimah sambil berkata "Sehat, kan?", "Ya Allah tambah cantik", "Udah lama banget" dalam pelukan dan dalam sela-sela cipika-cipiki. Bu Karimah memang orang yang sangat hangat, hangatnya membuat betah seperti sedang berjemur di bawah langit sore, di pantai yang pasirnya juga hangat, siapapun pasti betah. Setelah cipika-cipiki dan pelukan hangat itu mereka langsung ke teras rumah sayap kiri, menggelar tikar kemudian duduk di sana untuk mengobrol, makan serta menikmati langit sore. Sama dengan rumah Tata, rumah Dina juga berada di samping sawah, bukan sawah yang sangat luas, hanya persawahan yang masih dekat rumah-rumah penduduk. Jadi, udara di sekitarnya sudah bisa dipastikan bersih dan sejuk.
"Siapa yang nggak sholat?" tanya Dina.
"Aku" jawab puput.
"Sip! bantu Ibu di dapur ya. Yang lain ayo sholat ashar dulu" ucap Dina lantas masuk ke rumah diikuti Yosi dan Hanum.
"Eh inget nggak, dulu pas jaman mondok setiap jam lima kurang lima menit, Qismu Ta'lim udah berdiri di depan masjid. Santri yang lain kan udah gupuh ke masjid ya, cuma kita aja yang santai. Nggak ada panik-paniknya padahal Qismu Ta'limnya Ukhty Nisa"
"Bikin musuh emang kita pas Kelas Empat itu. Ukhty Nisa kan sangat dihormati ya pada jamannya" sahut Yosi.
"Eh Hanum loh nggak, dia taat banget jadi Santri" tukas Dina.
"Iya, angkatan kita emang kompak kecuali Hanum. Hanum nakalnya telat" tambah Puput.
"La aku, loh takut dimarahin" jawab Hanum jujur.
"Din! Nduk! bantuin Ibu" teriak Ibu Dina dari arah dapur.
"Iya, Bu! Puput yang mau bantu" teriak Dina pada Ibunya, "Ayo, gais! Let's go"
Ketika para musholiah selesai salat, bukan hanya bakso yang sudah terpajang di teras, ayam bakar dan nasi juga sudah bertengger di sana. Puput yang sudah tak sabar untuk makan bakso isi cabai tapi berusaha untuk sabar menunggu sahabat-sahabatnya selesai sholat memilih untuk menyemili kerupuk udang, memangku toples besar untuk dirinya sendiri. Sedang Hanum dan Yosi yang awalnya masih kenyang pun merasa perutnya kembali kosong setelah melihat pemandangan indah dari bakso dan ayam panggang. Memang sebaiknya tidak perlu berbicara 'sudah kenyang' atau berpikir 'sudah kenyang' ketika akan menuju makanan gratis. Pada akhirnya rasa lapar akan datang lagi dan tidak ada cara lain selain menyambutnya dengan tangan terbuka.
"Nginep di sini aja ya!" ucap Dina pada teman-temannya yang sedang semangat mengunyah.
"Oke" ucap Yosi sebelum menggigit ayam bakarnya, sedang Puput dan Hanum hanya mengangguk saja karena sudah tidak mampu lagi untuk berkata-kata.
Makan dengan tenang bukanlah gaya Dina, Yosi, Puput atau pun Hanum. Sudah menjadi kebiasaan di pondok bahwa mereka akan makan sambil mengobrol.
"Eh aku inget Yosi nagih ayam panggang ke Ustadzah Laila" ucap Puput saat sedang menambah nasinya.
"Iya, nggak punya malu banget itu. Tapi enak sih ayam panggangnya" tambah Dina.
"Iya dong, Yosi gitu loh. Aku kalau sama Ustadzah Laila mah santai. Nggak kaya sama Ustadzah yang lain, bawaannya males" ucap Yosi menyombongkan diri.
"Ih aku loh waktu itu nggak dikasih" keluh Hanum.
"Loh salamu dewe nggak mau gabung sama temen-temenmu, gabungnya malah sama adik kelas terus" timpal Puput.
"La iyo" tambah Dina.
"La aku loh kasian sama anak-anak kelas satu yang polos-polos itu. Kan juga mudabiroh kamar mereka jadi nggak tega gitu kalau lihat mereka kalahan. Kok ya kebetulan banget dapat a'do' yang cupu-cupu" jelas Hanum.
"Iya, ya itu yang Alifia itu yang maaghnya kambuh pas muhadhoroh tapi nggak berani bilang ya?" tanya Yosi.
"Ya Allah kebacut banget kui" ucap Puput.
"Tapi Ukhty Hanum itu memang kesayangan semua santri kok, dari jaman masih mudabiroh kamar sampai jadi OSPPM" puji Dina.
"Apaan, sih! Eh Ustadzah Laila sekarang anaknya udah berapa, ya?" tanya Hanum, mengalihkan topik yang mulai membahas dirinya.
"Dua, yang pertama udah kelas TK, yang kecil umur dua tahun" jawab Yosi.
"Kamu masih kontakan sama beliau, ya Yo?" tanya Hanum.
"Yoyo mah masih membina hubungan baik dengan para Asatidz Pondok Pesantren Modern Al-Mufakirin" jawab Dina.
"Ya nggak semua lah, yang asik-asik doang. Lagian kalau sama Ustadzah Laila itu selow. Wes koyo konco dewe" ujar Yosi.
"Tapi Ustadzah Laila itu emang terbaik lah. Udah pinter, cantik, baik lagi. Ya emang sih galak kalau sudah dalam mode jadi Ustadzah Riayah tapi beliau itu peduli banget sama santri-santrinya. Pokok e terbaik, deh" ujar Hanum yang memang ngefans pada Ustadzah Laila sejak beliau menjadi wali Kelas Empat-nya Yosi dan kawan-kawan.
"Kalau kamu tahu Ustadzah Ali mah Ustadzah Laila cuma separuhnya. Ustadzah Ali, mah kaya first love-nya semua orang. Beruntung banget pernah ketemu beliau bakal auto pengen jadi beliau. Tapi Ustadzah Laila emang keren, sih. Saat orang-orang bilang kita bandel, males, nilai ujiannya pas-pasan, cuma Ustadzah Laila yang bilang kalau kita berharga. Saat wali kelas yang lain bakal menasehati anak-anaknya yang nakal sampai boring dengan ceramah-ceramahnya, cuma Ustadzah Laila yang punya plot twist dari setiap ucapan-ucapannya"
"Plot twist ke opo to, Yo?" tanya Puput.
"Nggak tahu nih Yoyo mesti deh pakai bahasa-bahasa sing nggak ada yang paham" tambah Dina.
Yoyo merengut ketika moment of speech-nya dirusak oleh sahabat-sahabatnya sendiri. Mencari momen untuk mengeluarkan kata-kata yang disusun dengan sebijak mungkin sangatlah sulit. Sedang Yosi, ketika mendapat momen untuk mengeluarkan kalimat-kalimat yang disusun dengan sebaik mungkin dan berharap menjadi kata terbijaknya, justru teman-temannya sendiri yang merusak momen tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
What next? Who Next?
Teen FictionYosi, Dina, Puput, Luluk dan Hanum bertemu dalam pesta pernikahan Tata. Enam perempuan bersahabat tersebut menerka-nerka mengapa salah satu sahabat mereka, Tika tidak datang. Dalam pesta pernikahan (slash) reuni yang berlangsung selama kurang lebih...