9

0 0 0
                                    

Disinilah Embun Airena berada. Didepan sebuah toko yang sudah tutup beberapa jam yang lalu. Ia sedang merutuki kebodohannya sendiri. Mengapa tadi ia menolak ajakan Hera untuk pulang bersama, dan memilih untuk menunggu angkot. Hari ini Embun memang tidak sedang membawa sepeda motornya.

Lihatlah sudah setengah jam ia menunggu, namun kendaraan roda empat berwarna kuning itu belum juga muncul. Lagi-lagi ia merutuki kebodohannya, mengapa juga ia lupa membawa payung. Padahal sudah jelas sekarang sedang musim penghujan. Dan benar saja, saat ini awan mendung sudah mewarnai langit dan turunlah setitik demi setitik gerimis dan tak lama berubah menjadi hujan lebat.

Dingin. Itulah yang Embun rasakan saat ini. Apalagi sekarang ia hanya mengenakan seragam sekolahnya tanpa dilapisi jaket atau sweater.

Tiiin tiiin

Suara klakson sepeda motor sedikit mengejutkan Embun.
"Siapa sih , nih orang ngagetin gue aja." Batinnya.

Lalu setelah turun dari motor sportnya, wajah seseorang yang Embun kenal muncul dari balik helmnya. Ternyata ia adalah Daffin Erlangga, teman sekelasnya.

"Mbun, kok Lo belum balik?"

"Iya nih, dari tadi nungguin angkot ngga dateng-dateng." Jawab Embun seadanya.

"Bareng gue aja yuk. Kalo jam segini angkot keknya udah nggak ada deh, apalagi sekarang hujan."

"Ngga deh, gue mau nungguin hujan reda aja. Lagipula gue nggak bawa jas hujan. Nanti seragam gue basah lagi, kan besok mau dipake lagi." Embun menolak ajakan Daffin.

"Gue bawa satu lagi kok."

"Ngga ah, gue mau nunggu mobil help aja. Lo duluan aja gih. Lagian rumah Lo kan beda arah sama gue." Tolak Embun, lagi. Rasanya aneh bagi seorang Embun jika harus berboncengan dengan seorang laki-laki, kecuali jika dengan Bagas tentunya.

"Oh, ya udah deh."

Aneh. Embun sudah menolak ajakan Daffin untuk pulang bersamanya. Tapi laki-laki itu masih diam ditempatnya, tak bergeser sedikitpun. Dan kini malah memandang langit yang masih nampak kelabu.

"Fin." Panggil Embun yang hanya dibalas dengan dehaman oleh sang empunya nama.

"Hmm"

"Gue kan udah bilang, Lo duluan aja."

"Iya. Terus?"

"Ya.... Terus Lo ngapain masih disini?"

"Lo juga ngapain disini?" Daffin balik bertanya. Sungguh, sebenarnya sekarang Embun mulai kesal dengan sikap Daffin.

"Kan tadi udah gue bilang, gue mau nungguin hujan reda." Jawab Embun sedikit kesal.

"Ya udah."

Ya Allah. Tolong beri kesabaran yang lebih pada seorang Embun. Mengapa disaat seperti ini dia bertemu dengan cowok macam Daffin Erlangga. Sepertinya Allah sedang benar-benar menguji kesabarannya.

"Ya udah? Terus ngapain Lo masih disini?"

"Nungguin hujan reda." Jawab Daffin tanpa beban.

"Kan Lo bawa jas hujan, ngapain coba nungguin hujan reda?" Ucap Embun bersungut-sungut.

"Nemenin Lo."

Deg.

Coba katakan pada Embun bahwa ia tidak salah dengar. Apa tadi katanya? Nemenin Embun?

"Apa?!!! Nemenin gue?" Ucap Embun lagi. Takut-takut ia salah dengar.

"Iya, nemenin Lo. Habis Lo sendirian sih. Gue ajakin pulang bareng nggak mau. Ya udah gue temenin aja kan, daripada sendirian kek orang ilang."

Haaaaah

Embun menghembuskan napasnya pasrah. Terserahlah apa yang akan dilakukan oleh seorang Daffin Erlangga. Mau melarang juga ia tidak berhak.

Akhirnya berdirilah Daffin dan Embun di depan emperan
toko tersebut. Membiarkan motor sportnya terguyur hujan.

Ssshh

Embun benar-benar kedinginan sekarang. Ia mendesis sambil mengusap-usap lengan bajunya untuk mengurangi rasa dingin.

Namun pergerakan dari Daffin menarik perhatiannya. Cowok itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

Sebuah sarung kotak-kotak.

"Nih." Daffin menyodorkan sarung tersebut yang hanya dibalas tatapan penuh tanya oleh Embun.

"Nih, pake. Maaf, gue lagi ngga bawa jaket."

Embun masih bergeming.

"Lo ternyata pinter pinter agak lemot juga yah." Akhirnya dengan tak sabar, Daffin melingkarkan sarung tersebut menutupi  tubuh Embun sampai ke bagian pahanya yang tertutup rok. Embun yang mendapat perlakuan tersebut sempat terkejut. Namun akhirnya dia menerimanya.

"Gue tau Lo pasti kedinginan. Tenang aja, sarung gue wangi kok. Setiap cuci gue pakein pentin." Jawab Daffin, sontak membuat Embun terbahak.

" Lo, make shampoo buat pewangi baju Fin?"

"Shampo?"

"Lah iya. Lo kan tadi bilang pentin. Pentin kan merek shampo." Jelas Embun tak habis pikir.

"Emang pentin merek shampo?"

Heh

Embun menggertakkan gigi-giginya. Ingin rasanya ia bejek-bejek muka si Daffin yang sok polos itu. Sungguh. Berbicara dengan seorang Daffin dulunya tidak pernah semenyebalkan ini.

"Terserah Lo deh Fin, terserah." Embun sudah angkat tangan menghadapi orang disampingnya itu.

"Hahaha" Daffin tertawa terbahak-bahak.

"Lo ngetawain apa sih? Emang ada yang lucu?" Tanya Embun. Aneh sekali Daffin ini. Tiba-tiba saja ia tertawa terbahak-bahak seperti itu.

"Embun Embun, mana ada pentin dijadiin pewangi. Gue juga tahu kali, pentin itu merek shampo." Jelas Daffin di akhir tawanya.

"Terus, Lo tadi ngapain belaga ngga ngerti?"

"Ya, biar Lo ketawa aja. Lo lebih cantik kalo pas ketawa."

Seperti tersengat listrik. Embun seketika terdiam. Sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan Daffin. Mengapa dia jadi bersikap seperti ini.

Di sisi lain, Daffin diam-diam tersenyum. Memang apa yang dikatakannya tadi mungkin terdengar sangat receh. Namun ia tak peduli. Yang penting ia bisa membuat tawa seorang Embun Airena yang sudah jarang ia lihat, pecah hanya karena candaan recehannya.



Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Gimana guys part kali ini?
Receh banget ya🤔😅....
Maaf yah guys kalo nggak lucu😅😅

Kira-kira ada ngga nih dari readers yang sifatnya kek Babang Daffin...

Dah lah....
Makasih yang udah mampir 😃👍😁

Semoga suka🥰

C U

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Hujan Oktober AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang