Tanya yang Kusimpan

182 22 26
                                    


"Ara"

"Iya sayang"

"Boleh tlp"

"Boleh dong"

Tak lama ponsel berdering dari yang bertuliskan Sayang.

"Iya Fadli?" ucap Zara dengan nada lembut seperti biasanya.

"Raaa..." panggilnya pelan seperti ada sesuatu yang berat untuk dikatakan.

"Iya, mau telepon aja atau ngomong hal penting?" tanya Zara, terkadang Fadli menelpon hanya ingin terhubung saja dengan Zara.

"Penting Ra".

"Bentar, mau masuk kamar dulu." Zara masuk kamarnya lalu duduk di kursi pojok yang menghadap jendela.

"Iya ada apa?" Zara menyilangkan kaki di atas kursi, mengambil posisi ternyaman.

"Raa ...."

"Iya, Fadli, Ara di sini," meyakinkan Fadli kalau ia telah siap mendengarkannya.

"Rasa sayang Fadli ke Ara udah berkurang, Fadli udah gak cinta sama Ara." jelas fadli dengan begitu kejam terdengar menusuk hati Zara.

"Maksudnya apa sih?!"

Fadli terdiam.

"Fadli lagi kenapa?"  Zara mengerutkan dahi tanda penuh tanya.

"Ara, jadi bingung gini. Maksud Fadli ngomong gitu apa?" tak percaya dengan apa yang didengarnya.

Fadli masih terdiam membuat Zara geram.

"Ara salah apa sama Fadli?"

"Raa, ini yang terbaik buat kita, lebih baik fokus sama masa depan masing-masing. Kalau jodoh, pasti dipertemukan kembali." jawab Fadli dengan alasan yang cukup basi.

"Fadli mau kita putus?" tanya Zara mencoba mengambil kesimpulan.

"Iya Raa, mulai sekarang kita cuma teman aja." Fadli seperti tidak ingin berdebat.

"Iya, tapi salah Ara apa?" Zara menanyakan kembali.

"Maaf ya Raa." bisiknya perlahan.

"Fad-li..." panggilnya dengan nada pelan.

Sambungan telepon terputus.

Tubuhnya terasa begitu kaku, Zara masih duduk dengan pandangan kosong. Gadis itu belum bisa menyadarkan diri dari apa yang terjadi, ia tak percaya dengan percakapan tadi. Zara masih saja membeku sampai sebuah notifikasi memecah keheningannya.

"Maaf Raa, tidak ada yang salah. Tolong jangan hubungi aku dan mempertanyakan semuanya".

Zara membalikan layar hp di genggamannya.

"Fadli sayang Ara sampai kapanpun"

Dengan senyuman miris dan suara yang lirih gadis itu membisikan kata yang sering kekasihnya ucapkan.
Zara menundukan kepala, air mata mengalir dari kedua sudut mata yang sudah sedari tadi menahan luapannya. Zara berdiri membalikan badan kemudian membenamkan tubuhnya di atas kasur.

Jakarta, 10 Oktober 2010

Iya sayang, namaku Zara.
Zara khoirunnisa.
Orang yang paling kau cari di dunia ini.
Katamu adalah aku.
Dibangku kelas delapan kau coba memulai obrolan,
mengulurkan tangan dan meminjamkan pensil untukku.
Itu cukup sederhana namun begitu lekat dalam ingatan.
Kau memang pelit "semua harus ada gantinya", ledekmu.

Kita bertukar nomor, saling mengisi hari dan akhirnya kau katakan cinta.
Aku bilang "iya" dan memang ku jatuh cinta padamu, semua tentangmu selalu membuatku antusias.
Aku memiliki warna pensil biru, abu, juga jingga dalam hidupku. Bahkan semua warna kumiliki saat bersamamu.

Dua tahun berlalu, dihari ini kau akhiri. Jangan mempertanyakan semuanya. Itu pesan terakhirmu.
Baiklah.

Pergilah sayang,
Pergi saja.
Biarlah waktu yang
akan membawaku pada tempat
dimana aku bisa benar-benar
Mengikhlaskanmu.

"Untuk apa mempertahankan yang ingin pergi, cintanya sudah mati sebelum kau tahan"

MyDiary PesanTrend!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang