" Kamu tahu jalannya kan? " Tanya Dirga, mau tak mau pertanyaan lelaki itu memaksaku untuk sedikit mendekatkan wajahku padanya
" Enggak " Jawabku jujur, lelaki itu terkekeh namun beriringan dengan itu dia mendengus
" Lah, bagaimana coba? " Tanyanya lagi, aku menggeleng pasrah, mengantar bingkisan kerumah Tiana bukanlah hal yang aku rencanakan sebenarnya, tadinya aku hanya bercanda pada Dirga, tidak menyangka bila lelaki itu benar-benar akan membawaku menyusuri jalan yang bahkan belum pernah kami lintasi seperti ini
" Bukankah tadi waktu Aryo menjelaskan arahnya mas Dirga bilang paham? " Tanyaku. Sebenarnya ini adalah tugasku, namun justru keadaan membuatku menuntut lelaki itu supaya lebih tahu segalanya dibandingkan aku
" Ya. Aku hanya iya, iya saja, tapi sebenarnya sama sekali enggak paham " Ucapnya. Aku membuka lebar mulutku, tak percaya bila lelaki itu bisa berpikir sesederhana itu. Lantas harus bagaimana kami sekarang? Membuang-buang waktu untuk hal ini tanpa guna, atau kembali, ya walaupun tidak ada yang sia-sia bagiku selama waktu itu kuarungi bersamanya.
" Kamu punya ponselkan? Tinggal gunakan, untuk apa aplikasi memberi kemudahan jika tidak digunakan? " Jelasnya. Aku diam, perlaham aku mengeluarkan ponselku dari paper bag yang kukenakan, dengan ragu aku menyerahkan benda pipih itu pada lelaki yang saat ini duduk didepanku
" Aku enggak tahu caranya "
" What!?? "
Ku putar bola mataku menanggapi respon keterkejutan Dirga, wajar bagiku, dan mungkin bodoh dimatanya, usiaku 21 tahun saat ini, aku hidup di era globalisasi dimana komunikasi, teknologi dan sejenisnya sudah seharusnya menjadi makanan sehari-hari, namun memang benar hanya sebagian aplikasi dalam ponsel yang aku pahami
" Kamu usia berapa sih? Lahir dijaman apa? "
Aku mendengus, kutoyor bahunya pelan. Seingatku usiaku benar-benar 21 tahun, tapi aku punya ponsel baru sekitar enam tahun terakhir ini, dan android aku baru memilikinya selama satu tahun ini, wajar bila aku memang tidak begitu paham
" 21 tahun. Tapi aku memang gaptek " Jujurku. Lelaki itu tertawa kecil, bersuara tanpa membuka mulutnya, matanya sekilas memandangku dari spion sepeda motornya
" Kamu kuliah kan? Dan sekarang kamu admin. Bukankah harusnya tidak asing dengan data, dimana semua diakses dengan teknologi "
Aku mendengus, lelaki itu terdengar seperti sedang mengintrogasiku, dia pikir aku sedang bercanda mungkin
" Aku hanya mengendalikan kemampuan berpikirku, saat kuliah dulu, semua tugas kuselesaikan dalam satu hari, itupun laptop pinjam teman kerena memang aku tak punya, sambil minta buntuan untuk olah datanya. Dan bahkan pengerjaan Tugas Akhir hanya aku lakukan selama dua hari, di kampus dalam dua jam setelah semua temanku selesai dan aku bisa meminjamnya "
Jelasku. Lelaki itu diam, aku tahu dia bahkan tidak pernah duduk dibangku perkuliahan, namun aku yakin dia manusia cerdas, dia paham apa yang aku sampaikan
" Bisa ya seperti itu? Dan hasilnya? "
Aku tersenyum menanggapi pertanyaannya, hal yang membuat aku bangga pada diriku sendiri sampai saat ini, karena pada saat hampir semua temanku menangis frustrasi pada Tugas Akhir itu, aku masih bisa tidur dengan nyenyak bahkan tidak pernah mengerjakan apapun setiap harinya, namun nilaiku tetap tidak jauh dari mereka
" Peringkat ketiga dalam satu jurusan " Jawabku bangga. Tiba-tiba pikiranku kembali pada saat-saat itu, saat penentuan yang mendebarkan
Flash back 1 tahun lalu
Saat itu aku baru saja keluar dari ruangan sidang, ku tutup pintu ruangan lalu duduk menunggu di depan. Sejak tadi aku lihat semua temanku selalu menangis saat keluar dari ruangan ini, aku pikir akan sangat menakutkan, apalagi mengingat aku bahkan tidak belajar apalagi mempersiapkan diri untuk ujian ini, padahal ini ujian kelulusan, untung saja semua bisa kuhadapi dengan sangat baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESEMBER
Romance( True Story) Hina saya dengan kata apa saja, karena yang di ciptakan untuk saya selamanya akan menjadi milik saya. Desember punya cerita tentang cinta dan perjuangan, seribu hina yang kemudian menjadi liku indah.