Sejak hari itu aku dan Dirga menjadi semakin dekat, kami sama-sama tidak tahu apa yang akan terjadi, semua kami lalui begitu saja tanpa rencana. Hadirnya lelaki itu membawa warna tersendiri dalam hariku, aku gadis lusuh yang jauh dari tawa perlahan mulai mengenal bahagia, sikapnya yang selalu ada saja membuatku tidak pernah merasa sepi, karenanya sejenak aku bisa melupakan beban yang membuatku mati rasa.
Namun lebih dari itu, tiba-tiba aku sering merasa cemburu padanya, aku tidak suka melihat wanita lain mendekatinya, walau aku tahu dia bahkan bukan milikku. Contohnya seperti sekarang, rasanya ingin aku menarik tubuh Dirga menjauh dari Lutfi dan Tiana, dengan sangat percaya diri dua gadis itu menghampit Dirga yang sedang duduk tidak jauh dariku, walau terganggu, aku tetap berusaha fokus pada pekerjaanku
" Eh kalian berdua, jauh-jauh sana jangan dekat-dekat, buat Dera enggak mau melihatku kan? " Keduanya lantas membuka mulut lebar mendengar kalimat panjang dari Dirga itu, bukan hanya mereka, akupun melakukan hal yang sama, ku pandang lelaki yang kini tengah tersenyum lebar.
" Apa sih, enggak penting " Ucapku lirih, namun sudut bibirku menyungging senyum tipis, entah kenapa, kelimat itu seolah menggambarkan bila Dirga tengah menjaga perasaanku.
" Huuuu apa sih, Dera saja enggak mau " Tandas Lutfi yang terdengar kejam, gadis itu lantas bangkit dari duduknya yang tepat di sebelah Dirga itu
" Iya ini Dirga, hm banyak tingkah " Tambah Tiana, namun berbeda dari Lutfi yang langsung bangkit, gadis itu tampaknya masih betah berada di samping Dirga, membuatku berdecak kesal dan membuang pandang dari ketiganya
" Ya sudah ayo ke depan " Ajak Lutfi
" Ayo " Tiana menjawab, dan baru saat itulah dia bangkit, keduanya lantas berjalan menjauh dari kami. Sekilas aku memandang lelaki itu, lalu membuang pandang ketika dia menoleh kearahku
" Kenapa? Malu? " Tanyanya padaku, sontak membuat mataku membulat, walau pandangku jelas tak terarah padanya
" Apa sih, kalau bicara suka hal yang enggak penting " Tandasku, tanpa menatapnya sedikitpun, walau demikian jelas aku mendengar lirih tawanya
" Mas, pergi sana, nanti kena marah sama Pak Bagas lagi " Ucapku perlahan, mataku menatapnya, kalimat itu sebenarnya hanya alasanku saja agar bisa memandangnya.
" Hah enggak perduli juga " Ucapnya santai, memang selalu demikian, jadi rasanya percuma memberi nasehat pada lelaki itu, dia selalu punya jalan sendiri
" Aku masih penasaran sama yang ikut kamu " Lanjutnya, membuatku memejamkam mata sejenak mencari keberadaan 'Raja'. Aku mendengus kasar, sedikit tidak suka Dirga membahas masalah itu
" Kenapa? " Tanyaku datar, lelaki itu hanya tersenyum, sungguh senyumnya sangat polos dan tulus, dia tampak seperti bukan orang pintar, namun sungguh aku tahu dia itu cerdas
" Dia itu siapa? "
Aku mengingat semuanya, pertemuanku dengan sosok itu, mimpi-mimpi ku, semua yang pernah ku lalui, tempat dimana aku merasa seperti pulang, dan pada akhirnya aku bisa membuat sebuah kesimpulan
" Keturunan, dia itu kembar, yang satu ikut Om ku, sifatnya tidak sebaik yang bersamaku, sebenarnya aku tidak terlalu menyukai hal semacam itu, namun sungguh kehadirannya banyak membantu ku " Jelasku, seperti yang sudah aku katakan, aku bahkan tidak tahu mengapa rasanya begitu cepat aku percaya pada lelaki yang kini duduk tidak jauh dariku itu, bahkan orang yang sudah bertahun-tahun bersamaku pun, tidak pernah ku kenalkan kepada 'Raja'
" Iya aku tahu, dia banyak diam, hanya memperhatikan kamu dan orang-orang di sekitarmu, jika mendapati kamu terancam baru dia akan bertindak " Lelaki itu bersuara, aku mengangguk setuju, karena memang hal itu yang ku tahu
" Dan fatal jika dia sudah bertindak " Lanjut lelaki itu, aku mendengus kasar, bagian itu sebenarnya tidak ingin aku bahas
" Itu masalahnya, kemarahanku terkadang di luar kendali, aku bukan orang baik, hanya saja tidak ada yang mampu mengenalku dengan baik " .
Seketika, pikiranku melayang pada hari itu, hari pertama saat aku di pilih Pak Bandi untuk menjadi wakilnya.
" Kalau jadi admin itu harus yang berani Der, jangan mau di bodohi sama anak buah! " Ucap Sari ketus, aku hanya tersenyum sembari menyuapkan nasi kedalam mulutku
" Lagipula Pak Bandi kenapa juga harus menunjuk kamu, aku jadi kasihan sama kamu " Lanjutnya. Aku mengernyit, entah kasihan semacam apa yang di maksud gadis itu, namun lagi aku hanya tersenyum
" Senyum lagi dia Sar " Kini giliran Ima yang bersuara, ibu satu anak itu terlihat menggeleng melihat tanggapanku atas apa yang di katakan Sari
" Hm. Maka dari itu mbak, aku kasihan sama Dera. Lagipula Pak Bandi mau pilih enggak di lihat dulu " Lanjut Sari, entah kenapa aku merasa gadis itu menunjukkan sikap tidak sukanya atas pengangkatanku
" Kalau enggak bisa kamu bisa mundur Der. Aku bantu ngomong pada Pak Bandi " Mendengar itu, aku terdiam, bukankah semua kalimatnya itu sudah cukup membuatku merasa rendah, gadis itu jelas meragukan kemampuanku
" Aku sebenarnya bisa mbak, aku juga bukan orang pendiam, tergantung situasinya saja bagaimana " Jawabku, gadis itu melirik sinis, lalu mengunyah nasinya dengan sangat cepat, aku menggeleng tidak paham padanya
" Halah, kamu ini! Kamu pikir kita enggak tahu kamu gimana? Intinya harus berani. Mentang-mentang kamu orangnya diam dan penurut, mereka dengan gampangnya bisa menipu kamu "
Cukup sudah! Kalimat itu terdengar bagai sebuah penghinaan, namun rasanya percuma menanggapi ocehan tidak bermutu seperti itu, bibirku masih menyungging senyum, namun tanganku sudah mengepal kuat, dalam hati aku berkata "Lihat, sampai saat kamu terkejut melihat bagaimana aku sebenarnya! "
Helaan nafasku, membawa aku kembali pada saat ini, senyum ku terbawa hingga hari ini, gadis itu sungguh begitu mudah menilai orang lain, aku yakin dia itu gampang di bodohi, hm ku rasa dia yang bodoh bukan aku, namun sudahlah, tidak terlalu penting untuk di bahas
" Kenapa? " Tanya Dirga, lelaki itu mungkin menyadari senyumku, aku hanya menggeleng menanggapinya, lalu melanjutkan pekerjaan ku.
***
" Jangan mengusik ku, aku capek banget sumpah!! " Bentak gadis itu padaku, aku cukup terkejut melihat reaksinya, padahal aku hanya menepuk bahunya.
" Mbak Sari lagi marah, jangan di ganggu " Bisik Oliv yang kini berjalan sejajar denganku, aku mengangguk. Tampaknya bukan hanya aku yang mendapat ketusan dari gadis itu, namun semua yang sedikit saja menyentuhnya
" Kenapa lagi dia? " Tanyaku
" Halah, namanya juga Sari, wajar kalau kayak begitu, apa sedikit sudah manyun saja itu mukanya " Kini giliran Ima yang memberi jawaban, aku tertawa kecil, lalu menggeleng memperhatikan langkah Sari yang semakin jauh.
" Tadi, di kasih kerja agak berat sedikit, terus marah sampai sekarang belum ada yang di ajak ngomong " Oliv menambahkan, aku mengangkat sebelah alisku memandangi punggung Sari, sikap gadis itu bisa di katakan sedikit keterlaluan memang, harusnya dia bisa menjaga sikap, apalagi dia bekerja bersama orang-orang yang usianya jauh lebih tua darinya, namun aku harus tahu satu hal, ya memang begitulah Sari.
***
...........................................................................
Jadi kesimpulannya, sudah sampai mana ini cerita?? hehehe jujur aku lupa mana alur yang lebih dulu terjadi dalam cerita ini, karena sudah terbilang lama aku nggak nulis, karena banyak hal yang terjadi dan butuh adaptasi.
Tapi makasih buat yang masih mengikuti ceritanya, jangan lupa kasih bintang ya? Biar semangat gitu nulisnya.
Makasih 😍
KAMU SEDANG MEMBACA
DESEMBER
Storie d'amore( True Story) Hina saya dengan kata apa saja, karena yang di ciptakan untuk saya selamanya akan menjadi milik saya. Desember punya cerita tentang cinta dan perjuangan, seribu hina yang kemudian menjadi liku indah.