Throwback Day: 1

27 3 12
                                    

gue udah nunggu sekitar satu jam. rasanya capek juga ngeliatin jalanan, mobil lalu lalang, orang-orang jalan di sisi jalan raya. gue disini, duduk di kafe kecil pinggiran yang lumayan didesain estetik, sambil menyesap macchiato supaya pikiran gue nggak kalut-kalut amat.

"Steva!"

ngerasa nama gue disebut, gue segera menoleh kedepan, meluruskan punggung gue yang tadi nya melengkung karena nunduk mainin ponsel. God, it's him. bener-bener dia.

langkahnya mendekat, dan jantung gue masih berdebar kayak mau pentas seni. riuh banget, sumpah.

"gue kira salah orang, saking udah lamanya ga ketemu." dia membuka percakapan sesantai itu, beda sama gue yang gelagapan dan mendadak awkward.

"hai, mantan."

sial. he called me that way? wah, bener-bener.

"hai juga." gue bales seada-adanya. ya gimana, gue masih malu. ini ide gila dia yang gue aja masih heran. kenapa gue malah nurut-nurut aja kayak gini, sih? bodohnya Steva.

"gimana kabarnya? kaku banget lo, padahal dulu bawel banget, manja sama gue."

"ya kan dulu lo pacar gue, jadi gue bisa dong kayak gitu." tanpa sadar, kata-kata dia menyulut gue buat berkomentar.

"padahal gapapa aja sih kalo lo masih mau clingy ke gue, bawel kayak biasa. kan udah perjanjian pas di chat semalem..."

mata dia menyorot lembut, menikam jantung gue sopan dan tenang. "...kalo kita bebas bersikap kayak dulu selama Throwback Day seharian ini."

gue mendesah pelan. "nggak gitu, Ki. gue cuma... canggung? soalnya kita juga udah ga ketemu dua tahun dan tiba-tiba lo ajak gue kayak gini. wajar, kan?"

"kalo lo masih ada rasa ke gue, ya wajar." Iki menyahut enteng. dan gue spontan pukul bahunya keras-keras, antara malu, kesel, ah nggak tau. gue sebel diledekin kayak gitu.

"enak aja, nggak ya." gue menjawab cepat setelah mukul dia dan membuang arah pandang gue ke jalan raya.

cowok itu terkekeh pelan. gosh, masih seganteng dan seteduh itu. nggak heran gue simping dia banget dulu.

"jalan, yuk? kopi lo juga udah abis." Iki ngajak gue dan seketika gue mengangguk. gue masih inget, dia nggak suka kopi. jadi nggak pesen apa-apa pun gue paham.

"mau minum boba? susu gula aren?" gue masih setia membetulkan sling bag gue sambil nawarin minuman kesukaan dia. apalagi kalo bukan susu.

"masih apal aja, ih." katanya sambil mengusak rambut gue yang udah gue tata berjam-jam. emang ngeselin anaknya, tapi gue nggak bisa marah. "yuk, sambil jalan aja. kalo nemu baru berenti."

gue ngangguk sambil ganti betulin rambut gue yang sedikit acak-acakan karena ulah dia dan bergumam, "okay, if you say so."

kita jalan sebelahan dan kali ini tanpa pegangan tangan. yaiyalah, namanya juga udah mantan. beda sama dulu, pas lagi pacaran.  boro-boro nggak pegangan, dilepas sedetik aja gue auto marah-marah kayak setan. no lies, karena digandeng sama dia, rasanya emang sebegitu nyaman. tuh kan, gue jadi keingetan.

"gimana kuliahnya, Va? ada kendala? lancar?" dia membuka topik lagi. gue menelan ludah gugup, rasanya kayak dulu. masih sama. tapi daripada tenggelam sama kenangan, gue memilih buat ngebales pertanyaan dia pake humor.

"lo nanya kabar ke mantan, apa ke mahasiswa? kayak dosen."

"lah lo dua-duanya kan."

"Iki, ih! nggak taulah, males sama orang yang pura-pura bego." gue memutar mata setelah ngedorong badan dia ngejauh. dia nggak mikir apa gue jadi malu? ah, salting banget gue kenapa sih. "sana musnah, gue alergi sama orang bego."

brīnumsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang