"kamu terima tawaran papa kamu?" pria paruh baya itu mendekat, menatap dengan gelagat menjijikkan dimata Azila.
Azila masih memiliki seratus persen harapan dengan mengajak negosiasi yang baik dengannya, tapi melihat sikap keras kepala pria itu membuat persentase harapannya menurun.
"Om... saya mohon, saya cuma barang taruhan. saya masih sekolah. saya nggak siap..." Azila memohon dengan raut wajah memelas, menyiratkan hati pedih, tapi pria itu mana peduli.
"saya cuma mau menikmati kekalahan papa kamu saat taruhan kemarin. ngorbanin anaknya? salah papa kamu, atau salah saya?"
Azila mengepal tangannya kuat, menahan amarah. apalagi, kini rasa sakit menjalar di dadanya.
"kamu saya bayar, tenang. saya masih baik, seenggaknya kamu nggak pulang dengan tangan kosong." pria itu melembut dan mencoba menggenggam tangan Azila, yang reflek menampar telapak cowok itu, memuntahkan janji manis yang membuat ia muak setengah mati.
"Om punya anak perempuan? Om tega kalau anak Om bernasib seperti saya?"
lalu kekehan terdengar nyaring disana, bersahut-sahutan dengan klakson mobil dan motor yang ada di jalan raya, tepat disamping mereka.
"kalau saya punya, saya juga gak akan sebodoh papa kamu, Manis...."
Azila merasa kantung matanya mulai berat. "Om, tolong saya... jangan pakai cara ini... saya rela lakukan apapun, kecuali ini, Om."
lalu isak tangis mulai meriuh di pendengaran Azila sendiri, detak jantungnya berdebar tatkala pria itu malah memanggil dua lelaki lain dan menyuruh untuk menggeretnya kedalam mobil.
Azila menjerit kencang dan mulutnya disekap paksa. ia lupa, ia gagal memerhatikan. selama bicara, mata pria itu menggelap. berkabut oleh nafsu.
harapannya hilang.
**
mata Azila terbuka pelan-pelan dan sontak berjengit kala sadar apa yang sudah terlanjut terjadi tadi malam. saat bangun, tubuhnya merasa sakit, sakit sekali. matanya berpendar mengelilingi sekitar.
'ini dimana?'
Azila merasakan kasur reyot dan bau harum masakan yang sedang terjerang, mengetuk indra penciuman dan perutnya yang berisik. ia melirik baju berwarna putih kebesaran berbahan jersey. aromanya khas, tapi ia gagal mengenal pemiliknya. kepalanya berdenyut hebat. ia masih berusaha mengenali tempat ini. tunggu, ini bukan rumah pria brengsek itu. ini....
"kak Azila, udah sadar?"
rumah Koko. teman baiknya.
"KOKO?!" teriak Azila kaget dan reflek mengaduh perih saat badannya mencoba duduk tegak sempurna.
"kakak diatas kasur aja dulu, jangan banyak gerak, ya? Koko lagi masak tempe goreng sama sambel bawang. spesial, kan? nanti kita makan siang bareng."
kalimat jangan banyak gerak, ya? membuat Azila sontak teringat apa yang sudah terjadi, dan kepalanya terasa sakit seketika. tapi kata-kata siang juga ikut mengejutkannya dua kali lipat.
"hah... udah siang?" ekspresi mengejutkan Azila mengundang anggukan Koko yang seolah sudah paham isi pikiran cewek itu.
"iya... kakak udah aku izinin sakit ke sekolah kok. mm... bukan aku, sih. tadi temen kakak yang kasih izin."
wajah Azila tersentak. Koko buru-buru menahan bendungan pertanyaan yang siap meluncur. "nanti Koko jelasin semuanya, kok. kakak makan dulu, ya? setelah tenang, aku janji akan ceritain semuanya. oiya, Hanan juga ikut makan kayak biasa. dia juga baru bangun. sebentar, ya. aku siapin dulu."