Throwback Day: 2

14 2 9
                                    

"lama banget di kamar mandi?" Iki bertanya sambil meletakkan ponsel dan menatap mata gue lekat-lekat.

"mata lo sembap, lo habis nangis?"

screw you.

"halu, lo. mana ada sembap?" gue berkilah cepat. dalam batin gue ngamuk-ngamuk. pasti tadi ngucek matanya terlalu kenceng, deh. jadi keliatan banget gue habis nangis.

"nggak, Va. serius merah. coba ngaca. atau, mau gue foto?" lalu gue sambut pertanyaan dia dengan lemparan tisu yang tadi gue ambil dari kamar mandi. "modus."

Iki terkekeh. "inget nggak sih, Va? dulu lo nangis gara-gara adu mulut sama temen lo, terus nyari-nyari dan meluk gue sambil ngajak jajan?" kata-katanya kembali menyihir gue untuk bernostalgia dengan kenangan lama yang sebenernya udah cukup gue lupa. "guess what, dulu lo jajan apa?"

"ya mana gue tau, bodoh. lo kira gue jajan satu macem doang selama jalan sama lo?"

"hehe, kocak ih." matanya melengkung tersenyum, sedangkan gue didepan dia, masih asyik mematung sambil sedikit memuja aura Iki yang sampai kapanpun memang nggak pernah main-main.

"lo beli mango smoothies, habis itu seneng lagi. nangisnya udahan. kata lo, kalo beli minuman ini, lo bisa bahagia lagi. gue inget banget." tiba-tiba matanya menatap lurus ke gue, senyumnya mengoyak jantung gue lagi dan lagi, dan tangannya seketika ngedorong gelas minuman gue mendekat. "jadi, minum sekarang. gue nggak tahu lo ada masalah apa. tapi jadi cowok lo selama dua tahun udah buat gue hafal, Va. kapan lo lagi baik-baik aja, kapan lagi enggak. kapan lagi mood bercanda, kapan lagi serius."

see? damage-nya itu loh. kata-katanya. perhatiannya. senyum tulusnya.

"ayo minum, kata lo bagian makan jelly-nya bikin lo good mood? gue tungguin sampe lo minum. ayo, sekarang." lalu tangan besar dia nyodorin minuman itu ke gue. dan gue menerima sodorannya itu ragu. dengan pelan, gue coba minum mango smoothies kesukaan gue itu. dan yap, mood gue balik pelan-pelan. rasanya emang mendingan.

"gimana?"

gue mengangguk.

"feel better?"

gue ngangguk lagi.

"syukur, deh..." katanya sambil menghela napas lega dan menyandarkan punggung ke kursi.

gue masih menatap kearah lain. entah, gue malu natap mata dia. malu, iya. takut, iya. karena gue yakin, dengan natap mata gue sekali, Iki akan langsung tau perasaan gue seribu persen tanpa perlu gue bilang.

masih gue hafal kebiasaan dia yang suka nebak isi pikiran dan hati gue dulu. saat gue badmood, dia selalu tau cara buat gue seneng tanpa susah-susah tanya 'kenapa', sebelum gue nya sendiri berminat cerita.

Iki dengan segala gombalan basinya; juga Iki dengan sejuta lawakan kocaknya yang senantiasa ngehibur gue kapanpun dulu.

sekarang semua tinggal kenangan. dan sebagai manusia, wajar kan kalau kita bertekad untuk terus melangkah kedepan dan mengubur masa lalu dengan damai?

wajar dilakukan. tapi sayang, gue masih belum bisa.

gue dan Iki putus baik-baik. gue inget, Iki yang berjuang mati-matian mempertahankan gue. Iki yang rela ujan-ujanan demi menanti alasan gue yang saat itu masih kabur dan abu-abu.

Iki nggak pernah pergi. tapi gue malah berlari tanpa arti dan membuat hati gue capek sendiri.

Iki disana, di masa lalu, masih sama dengan Iki yang disini, dihadapan gue, mengaduk-aduk minumannya canggung karena ngelihat mata sembap gue barusan.

brīnumsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang