(I wish you could read this while listening SAMSONS - Kenangan Terindah to feel the vibe, thank you!)
*
How it feels, when you begin to love someone who approached you first and gave you those collywobbles, but he loves another one and you know that fact? Or maybe, you're not only being the one who knows about it, yet also being a listener about his story all the time?
Wound will be healed, time will flies, also us, we're attached each other now, and it will blown by the wind across the sea. We will be forgotten by history. So, why don't we just hug each other? Give me the last memory to remember forever, to be something that cannot forgotten by my mind. Give your hand before our last good bye. Give me warmth before us ended by time.
*
Aku mengingat masa-masa itu. Ketika matahari terik menyiram tubuhku yang tergilas keringat, aku hampir mati berdiri di tengah lapangan seluas 20x10 meter ini. Menunggu bel berdering, aku menghayalkan minum-minuman yang dingin dan manis untuk mendera gerah yang membasahi pelipis hingga telapak tangan.
Aku mengingat semuanya. Betapa lelah, betapa panas cuaca yang kuterjang saat sedang dihukum oleh guru karena tidak membawa atribut lengkap di jam upacara. Menyebalkan, tapi juga manis, karena aku selalu mengingat kejadian setelahnya. Di mana kamu datang menyambutku yang bersimbah keringat dengan sebotol air mineral dingin dan sebuah permen rasa jagung.
Aku tersipu. Padahal seharusnya jangan. Tapi hatiku tidak patuh saat itu. "Hei, makasih ya, sorry, nama lo siapa, lupa."
Lalu kamu terkekeh kecil. "Karel, Kak."
"Ah, iya, Karel, Alright. Sorry ya dek, nggak maksud buat lupa."
"Santai Kak Rena. Gue lanjut ke kelas ya. Diminum, lo pasti haus."
Saat itu kamu kelas sebelas, dan aku kelas dua belas. Ini mungkin bukan kasus istimewa yang harus dibanggakan. Tapi hidupku asing oleh lelaki yang lebih muda. Maksudku, soal romansa. Mana pernah aku berpikir akan jatuh hati pada anak kecil? Terima kasih, tapi tipeku memang selalu yang lebih tua, lebih dewasa.
"Kak, gue marah banget lo diejek temen lo begitu. Padahal nolak ajakan mereka main juga hak lo, kan? Lo bebas main sama siapa aja, dan ngebagi waktu lo untuk siapa aja sesuka lo. Jangan dianggep beban Kak Ren, alias lo harus percaya kalo keputusan lo udah tepat. Kita hidup kan nggak bisa bikin orang seneng terus. Daripada bete, pulang sekolah jajan sama gue, gimana?"
Tapi perkiraanku patah saat itu juga. Kamu rupanya dewasa, yang selalu dewasa.
"Nangis aja Kak Rena, jangan ditahan. Lo tunggu sini, jangan kemana-mana. Gue beli es krim dulu, vanila kan pake meses yang banyak?"
Kamu yang selalu menghiburku dengan cara-cara sederhana. Jika ini permainan bola basket, mungkin lemparanmu tidak seheboh three point, tapi aku jatuh ke dalam jurang seakan kamu melemparku keras dengan slam dunk, ke atas awan-awan cantik. Ini hiperbola, tapi aku rasa, aku sudah jatuh hati padamu, Karel.
Ada masa di mana aku merasakan kupu-kupu beterbangan di dalam perutku kala kamu mengaitkan pengait helm sebelum mengantarku pulang. Atau sesederhana saat mata kita bertemu. Atau seringan tanganmu yang menggenggam tanganku lembut saat sedang menyeberang.
Itu terlalu sederhana, aku tahu. Tapi kenapa kamu selalu bisa membuatnya lebih istimewa?
Aku merasa kita semakin dekat sejak kamu rajin mengantarku pulang, mengajakku mencicipi kuliner di daerah Tebet dan sekitarnya. Atau menonton film yang baru keluar di bioskop (kamu akan iseng membawaku ke mal yang jauh dari rumah, biasanya aku akan pura-pura sebal, tapi ujungnya aku menghela nafas seolah pasrah, padahal sejujurnya, aku senang). Kamu akan menyapa ibu dan ayah sebelum berpamitan dan selalu berterimakasih sudah mengizinkanmu main denganku. Hal-hal kecil yang tidak tertinggal setiap berpamitan, seperti mengaitkan kelingking untuk berjanji sekolah tepat waktu, membuatku merasa istimewa. Aku telah menganggap kita sedekat mentari.