"Iki, udah... capek." gue mengeluh nggak tahan, tapi semangat cowok itu keliatan banget masih membara.
"dikit lagi, yuk? ini masih seru." katanya sambil fokus memasukkan bola basket ke ring. gue berjongkok, agak ngambek.
"nggak, capek. ngos-ngosan dari balapan mobil tadi. gue mau makan, mau jajan."
gue lalu tersenyum geli dibalik punggung Iki, dibawah sini. bersikap manja kayak gini ternyata ngangenin, dan jujur hati gue anget banget. mau kayak gini terus, nggak mau udahan.
"iyaa, abis ini selesai janji langsung makan," katanya sambil terburu-buru memasukkan bola ke ring, dengan kecepatan dua kali lipat dari sebelumnya. dan sebenernya, gue nggak papa aja, sih, nungguin dia main. karena gue udah terbiasa dicuekin apa ya, jadi efeknya nggak sebegitu parah kayak dulu. jaman dulu mah, Iki fokus gaming dikit aja, gue langsung serasa jadi orang paling terlupakan di seluruh dunia.
"nggak marah, kan?" lanjutnya. dan gue mengangguk-angguk padahal dia nggak bisa liat.
"Vava?" panggilnya lagi dan susah payah menoleh ke belakang sementara kecepatan bola yang turun dipercepat dua kali dari sebelumnya dan gue yakin Iki kewalahan banget.
"disini, Ki." gue membalas. "nggak kemana-mana."
"jangan kemana-mana lagi, tunggu gue sebentar lagi."
deg.
gue nggak tahu de javu macam apa, tapi seketika jantung gue serasa berhenti berdetak dan kepala gue berputar.
kata-kata itu, gue tahu banget.
kata-kata yang terlontar dulu, saat gue hilang arah, kabur dari rumah karena masalah keluarga, hujan deres, angin yang bener-bener nusuk kulit gue, langit mendung, suara gemerusuk angin yang tabrakan sama pohon dan semak-semak, ya, gue inget. gue inget semua hal yang membuat gue hampir ilang ditelan ketakutan.
dan dia. dia dateng dengan jaket abu-abu, memeluk gue erat seolah nggak mau kehilangan.
'syukur kamu nggak apa-apa. syukur banget. aku khawatir, Va. khawatir.' dia terus ulang-ulang antara kata syukur dan khawatir, setelah sesaat kemudian kata-kata itu hadir.
'jangan kemana-mana lagi, tunggu aku sebentar lagi,' katanya. 'aku akan kasih kamu rumah, tempat berteduh yang hangat dan nyaman, tempat buat kamu lari-lari semau yang kamu mau, dan disitu ada aku. tempat yang isinya cuma ada kita; tanpa hujan, tanpa angin nyeremin, tanpa tangis, tanpa mendung. tolong tunggu aku, ya?'
dan gue berakhir mencampakkan Iki seorang diri beberapa bulan kemudian dikarenakan ego dan rasa sakit yang gue punya.
masih kental dengan rasa sakit kala itu, gue selalu yakin kalau nggak ada seorangpun yang bisa nyembuhin luka batin gue selain diri sendiri.
tapi rupanya gue salah. setelah Iki pergi, semuanya nggak tambah baik-baik aja.
lo harus tau, seberapa rindu dan menyesalnya gue udah melepas malaikat sebaik lo, Ki.
"hei, bengong mulu, ah." Iki menyenggol pundak gue dengan ujung telunjuknya. "katanya mau makan?"
bahkan cara dia memperlakukan gue masih sama; sama lembutnya, sama hati-hatinya.
gue mendongak dan mendapati wajahnya yang berada dekat dengan netra gue, sampai-sampai gue bisa merekam setiap detail ekspresinya lekat-lekat. mata hazelnya, kulit tan bersihnya, hidung mancungnya, bibir tebal merahnya. bahkan aroma cokelat dari parfumnya yang menguar didalam hidung hampir membuat akal kesadaran gue lumpuh.
betul-betul Iki, nggak ada bedanya.
"iya, mau makan," gue menjawab pelan sambil mengerucutkan bibir. "tapi lo malah gamau pergi dari muka gue."