Tiga Belas

6.9K 1.3K 479
                                    

-----

When trust is broken, sorry means nothing

-----

Johan

Sepulang dari rumah Raga, gue menepati janji buat beliin Eli Chatime dan Kue Balok. Aneh banget seleranya, minuman boleh elit, makanannya tetep aja balok cokelat yang setengah mateng. Tapi dia keliatan bahagia, sampai-sampai gue gak tega buat mintain kue yang wanginya menguar memenuhi seisi mobil.

"Besok minggu nih, Li."

Masih jam sembilan ketika gue menyusuri jalan Siliwangi yang ramai oleh kendaraan besar ini.

"Kenapa?"

"Ke rumah gua yuk."

"Ngapain?"

"Kucing gue kelamaan dititipin tetangga, kasian, takut dianiaya." Gak mungkin sampe dianiaya sih, cuma gak enak aja ninggalin si Anjing lama-lama. Niatnya mau dititipin ke tempat penitipan hewan aja soalnya gue gak bisa terus bolak-balik ke rumah. Namanya apaan tuh, Day Care ya?

Eh, bentar,

Day Care mah bukannya tempat nitip anak manusia? Lupa gua, pokoknya penitipan hewan aja udeh.

"Hahaha, boleh, tapi kalo minggu gue bangun jam sembilan."

"Anjir, kebo banget lo. Katanya gak baik anak gadis bangun siang-siang." Mitosnya sih gitu, padahal mah suka-suka dia aja.

"Kapan lagi bisa bangun siang, biasanya gue jam enam udah ngantri mandi." Kayaknya kue balok dia nggak habis soalnya gue lihat plastik berisi kue-kue itu disimpannya diatas dashboard mobil.

"Ya udah besok pergi sama gue ya."

"Oke, siangan tapi."

Buset dah, takut bener kalo waktu tidurnya bakalan keganggu. Dia keliatan udah nguap-nguap, nggak terlalu banyak bicara juga karena sepertinya cewek ini lagi kekenyangan. Bahkan ketika kita sudah sampai ke rumah dinas pun, perempuan itu masih aja loyo dan nutup mulut rapat-rapat.

"Makasih ya udah nemenin gue." Ucap gue ketika kita berdua sudah masuk ke pelataran rumah.

"Hahaha, apa banget lo pake makasih segala." Katanya, "Duluan masuk ah, ngantuk banget sih parah kek mo meninggal."

"Ntar diijabah loh, Li, kagak bangun lagi." Gue menakut-nakuti.

"Ih! Jangan lah! Masih mau hidup gue walau kadang gak mau hidup." Definisi hidup enggan mati segan, persis gue. "Lo tidur juga, mau jadi direktur harus sehat fisiknya."

"Lo tau dari mana?"

"Hah?" Mendadak aja Kimberly gelagapan. Gue gak masalah walau dia tau, tapi yang jadi masalah, dia tau dari siapa disaat gue baru nerima tawaran itu tadi sore? "Anu, itu ... tadi mbak Lussy ... "

Oh, Lussy.

"Lo orang pertama yang tau selain temen-temen gue berarti. Sana masuk, katanya ngantuk." Mukanya masih keliatan gak enak, yang membuat gue membalikkan badannya kemudian mendorong Eli supaya segera menyentuh teras kamarnya. "Masa kudu gue anterin sampe masuk ke dalem sih, bahaya nih, bisa timbul fitnah."

"Iya iya masuk." Katanya yang langsung melepas sepatu dan membuka kunci kamar. Dia sempat melambai kepada gue dari balik daun pintu, kemudian benar-benar hilang sampai akhirnya gue mendengar suara kunci yang diputar dari dalam. Artinya; Eli udah aman.

Ketika merebahkan badan diatas single bed yang gak tau kenapa terasa keras ini, pikiran gue mulai terbang kemana-mana. Pilihan gue nerima tawaran Khrisna udah bener gak ya? Gue takut gak kompeten saat berada di posisi itu. Lagian, atas dasar apa gue mengambil langkah yang terbilang sangat besar ini?

ADAPTASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang