Enam

7K 1.2K 169
                                    

----

Why I'm still hoping like this?

----

Johan

Jam setengah dua pagi, gue baru sampai di depan rumah dinas yang pagarnya setinggi dua meter ini. Gue gak keberatan tidur di mobil kalau seandainya gerbang udah digembok dari dalam. Namun ternyata, ketika gue mendorongnya sedikit, pagar itu masih terbuka alias belum dikunci juga.

Yang pertama gue dapati adalah seorang perempuan yang terduduk didepan kamarnya sendirian. Gue gak tau dia lagi ngapain, cuma yang pasti dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Awalnya gue enggan untuk peduli, tetapi ketika ada isakan kecil yang terdengar, langkah gue sontak terhenti.

"Li," gue memanggilnya, "lo kenapa?"

"Gak apa-apa, lo masuk aja, gue cuma ngadem."

"Setengah dua pagi bukan saatnya ngadem." Bayangan gue menutupi tubuhnya yang saat itu duduk tertekuk, "Terisak, depan mess, sepi, lo mau dikira kunti?"

Ketika mendongak, gue cukup kaget karena mascara yang dia pakai luntur. Mukanya berantakan banget, beneran mirip sama kunti. "Inalillahi, muka lo." ucap gue seraya mundur selangkah ke belakang.

"Dibilangin masuk aja." Nada suaranya agak terdengar sewot, "Gue cuma pengen nangis, dan gue biasa kok nangis disini."

"Sorry ya, karena ngebatalin tiba-tiba." Gue mengulurkan tangan kearahnya, "Ayo nyari makanan sekarang. Nanggung, mau tidur juga percuma."

Agak lama perempuan itu menatap tangan gue. Alih-alih meraihnya, dia malah berdiri sendiri lalu berjalan lebih dulu setelah memakai sandal jepitnya yang berwarna biru. "Kebetulan laper, ayo berangkat." ucapnya.

Gue gak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Niat yang awalnya mau istirahat malah dipakai keliling gak jelas di daerah selatan Bandung. Lagu Fletch yang gue putar seakan menambah kesyahduan malam. AC sengaja dimatikan, dua kaca jendela depan dibuka lebar-lebar hanya supaya angin malam bisa leluasa masuk ke dalam.

"Gue ikhlas, Han."

Suaranya yakin dan lega, tapi gue masih bingung dengan maksudnya ini.

"Cowok yang gue ceritain kemarin ternyata udah nikah. Gue sakit hati, tapi gue lega."

Ah, soal itu.

"Selamat kalo gitu," saking cepatnya mobil berjalan, suara musik dari dalam kalah dengan suara angin yang kita lawan. "Selamat kalau lo udah ikhlas. Lega yang lo rasain adalah lega karena lo udah gak punya beban apa-apa lagi. Iya gak sih?"

Dia tertawa, kenceng banget sampai gue ngira dia lagi kesurupan. "Hahaha, sumpah, gue nangis lama banget dan ujungnya gue malah ngetawain diri kayak gini. Lo bego banget, Kim, ya ampun. Tolol. Bodoh. Goblok."

"Gue iri tau, Li." Tawanya mereda, "Gue pengen nangis kayak gitu juga. Nangis yang lega, yang mengartikan kalau gue udah ikhlas. Tapi gue gak bisa."

"Lo, kalo mau nangis lagi, nangis aja. Abisin semuanya sampai gak ada lagi yang nyisa dari dia."

Meski gak melihatnya secara jelas karena harus fokus pada jalanan, gue bisa tau kalau Kimberly sedang menatap gue lekat-lekat. "Kalau gue nangis karena yang lain, boleh gak, Han?"

"Boleh, nangis aja."

"Gue mau nangisin semua rasa sakit dan rasa sulit yang dulu gue rasain. Bukan cuma soal dia, tapi soal semuanya. Gue mau mengingat rasa itu, gue mau nangisin semuanya sampai nanti kalo gue ingat lagi, gue udah gak perlu nangisin ingatan-ingatan itu."

ADAPTASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang