Satu

10.4K 1.5K 659
                                    

-----

Am I that easy to forget?

-----

Johan

Ada dua kata yang menurut gue artinya sia-sia, yaitu pernah dan juga hampir. Pernah, artinya sudah atau telah menjalani. Tidak ada yang bisa diulang dari sana, tidak ada yang tertinggal pula dari sana kecuali sisa-sisa ingatannya. Lalu hampir, artinya nyaris, kurang, dan belum sampai. Hampir jadi, hampir bersatu, namun tak terwujudkan.

Gue sempat menjadi keduanya. Gue pernah menjadi pernah, dan gue juga pernah menjadi hampir. Pernah ada, dan hampir tinggal di hidupnya sebagai satu-satunya.

"Gue ditawarin buat ke Costa Cruise, bang."

Senyuman gue memudar ketika memberikan sebuket mawar merah yang sengaja gue beli di florist sekitaran Wastukencana. Wajahnya yang biasa tampak sederhana dihiasi oleh make up yang cukup mencolok namun cocok. Dia masih memakai toga, lengkap dengan graduation sling yang bertuliskan nama serta gelar baru yang didapatnya.

"Bukannya di Aryaduta? Costa Cruise hotel daerah mana?"

Dia ketawa, bunga yang gue berikan dipegangnya dengan erat sambil sesekali dia lirik. Tadi ibu bapaknya masih ada, sekarang entah kemana, mungkin lagi menikmati hidangan karena acara wisuda telah berakhir sejak lima belas menit lalu.

"Costa Cruise tuh perusahaan yang mengoperasikan kapal pesiar dari Itali, bang."

Ya maklum, gue mana tau soal begituan.

"Oh, terus gimana?"

"Mau gue ambil kayaknya, kalau lo ngizinin."

Gue paling gak suka dengan kondisi ini. Kondisi di mana lo seakan menjadi titik penentu dalam kehidupan seseorang. Padahal lo gak berhak atas hidup mereka, dan lo gak seharusnya menjadi acuan dalam orang itu mengambil keputusan.

"Nanya gue, gak ada hak gue mah. Kalo nanya ya ke diri lo, lo mau apa kagak?"

"Mau." Jawabannya terdengar mantap, "Gue pernah bercita-cita kerja di kapal pesiar, jadi juru masak disana. Kayaknya keren aja, walau jarang pulang, tapi duit banyak, haha."

Tangan gue menyingkirkan beberapa anak rambut yang terlepas dari gulungannya, "Ya udah, ambil kalau gitu." ucap gue.

"Tapi gue jarang pulang."

"Gak apa-apa, asal lo bisa jaga diri disana."

"Kita jauh, bang."

"Emang kita hidup di tahun 90? Ada hape, internet, komunikasi tetep lanjut."

"Kalau hati kita yang jadi jauh gimana?"

Saat itu gue gak berpikir, bahwa pertanyaan yang gue tertawakan habis-habisan itu justru menjadi kenyataan. Gue malah merangkulnya dan menjadikannya candaan, padahal mungkin hal itu sudah menjadi sebuah pertanda bahwa dengan hilangnya dia, maka hilang juga segala peran yang dia pegang.

"Gue capek bang, cuma mau tidur aja di rumah." Yang pertama gue dapatkan ketika menemuinya setelah setahun lebih tak berjumpa adalah muka masam yang tidak menunjukkan ketertarikan. Padahal hari itu gue kebut-kebutan pulang dari RSJ cuma demi menemui dia. Di jalan aja hampir nabrak mobil tahu bulat saking buru-burunya gue hari itu.

"Gue temenin ya?"

Sejenak tatapannya ragu, ada keengganan juga disana namun gue mengartikannya sebagai ... oh, dia lelah karena penerbangan.

ADAPTASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang