***
Menjelang akhir bulan desember, salju turun semakin lebat. Dari balik jendela kamarku, aku melihat beberapa tetangga mulai menghias pohon natal dan meletakkan satu di antaranya yang telah mereka hias di teras rumah. Anak-anak yang masih percaya bahwa Kakek Santa akan datang membawa hadiah untuk mereka di malam Natal terlihat bersenang-senang di halaman rumah. Entah untuk membuat manusia salju dengan bentuk aneh atau saling melempar bola salju satu sama lain.
Benar, besok adalah malam natal. Elana pernah berkata padaku bahwa ia lebih menyukaiku dibanding malam natal sekalipun. Dia bilang bahwa yang memberikan segala yang ia mau bukanlah Santa, melainkan aku. Dan untuk pertama kalinya sepanjang hidupku, aku mulai tidak menyukai malam natal dimana tidak ada Elana yang terlibat di dalamnya.
Terhitung satu minggu lamanya ibu, ayah dan Johnny mengurungku di dalam kamar. Mereka hanya akan membuka pintu ketika waktu makan tiba sebelum akhirnya mereka kembali berlalu dan mengunci kamarku dari luar. Meninggalkanku sendirian.
Benar-benar sendirian.
"Besok natal.."
Aku menoleh ke samping dan menemukan Elana bergelayut manja di lenganku. Sorot matanya yang teduh tertuju tepat pada anak-anak yang bermain salju di halaman rumah mereka.
"Kau tahu keinginanku saat natal 2 tahun yang lalu, Mark?" kali ini ia menatapku dengan senyum simpul. Sementara tanpa suara, aku menggeleng.
"Menikah denganmu." katanya, lalu ia kembali menyandarkan kepalanya di bahuku, mengamati bagaimana anak-anak itu berlarian di luar sana.
"Aku mau kita punya rumah sendiri, Mark. Tinggal jauh dari Granville juga tidak masalah. Atau akan lebih baik jika kita memulai segalanya di Toronto. Aku mau kita hidup biasa-biasa saja dengan anak-anak kita. Satu laki-laki dan satu perempuan tidak masalah kan? Di hari paskah, aku ingin mengajari mereka membuat kue jahe dan membungkus beberapa permen untuk dibagikan ke anak-anak di hari thanks giving. Di hari natal, kita akan menghias 2 pohon natal dan membungkus beberapa kado untuk anak-anak yang kurang beruntung. Aku juga akan mengatakan pada mereka bahwa Santa Claus tidak pernah ada eksistensinya di dunia ini, jadi alih-alih meminta hadiah pada Santa, aku ingin mereka memintanya secara langsung pada kita. Aku ingin keluarga seperti itu, Mark..."
Aku tertawa saat menyadari bahwa keinginanya jadi sangat banyak setelah ia berkata bahwa ia ingin menikah denganku. Lantas setelah menarik napas panjang, aku membawanya ke hadapanku, memeluknya dari belakang. Agar ia masih mampu mengamati anak-anak yang bermain di luar dengan tubuh yang hangat.
"Natal tahun ini, kau ingin apa dariku?" tanyaku dengan sebuah pelukan yang tak begitu erat, namun tulus untuk kuberikan padanya.
"Aku mau kau bahagia."
"Aku bahagia." kataku.
"Bahagia yang sesungguhnya, Mark. Pergi ke kantor dengan terburu-buru setiap hari senin, pergi ke Carnegie Branch untuk meminjam buku dari penulis favoritmu, pergi ke kedai kopi bersama Levent dan teman-temanmu yang lain. Hidupmu bukan hanya soal aku, Mark."
KAMU SEDANG MEMBACA
Granville✔
FanfictionPart of "Antologi Bulan Desember" Ini hanya soal bagaimana kau mengenal Granville dari sebuah ingatan. "Mark, sadarlah!" Aku sepenuhnya sadar. Benar-benar sadar. Yentang dia dan ingatan di Granville. ©tenderlova, 2020 | Granville