***
Sebenarnya kecurigaan Elana tentang keluargaku yang tidak menyukainya itu benar. Kakakku, Johnny, selalu berkata agar aku tidak menemui Elana lagi itu bukan karena dia tidak punya pacar. Tapi karena Johnny memang tidak menyukai Elana. Begitu pula dengan orang tuaku yang selalu menatap Elana dengan pandangan aneh. Mereka sama sekali tidak setuju aku berkencan dengan Elana.
Aku rasa mereka menentang hubungaku dengan Elana bukan tanpa alasan. Aku tahu, aku akan kedengaran seperti anak durhaka setelah mengatakan ini. Tapi sungguh, apa yang terjadi dengan hidupnya selama ini bukanlah kesalahan Elana. Perempuan itu tidak tahu apa-apa. Dia hanya bocah polos yang harus menghadapi kekacauan dalam keluarganya.
Sama sepertiku, Elana lahir dan besar di Toronto, sebelum akhirnya orang tuanya bercerai dan dia pindah bersama ayahnya ke Vancouver. Ibu dan adiknya tinggal di Montreal, namun keduanya tewas 2 bulan berikutnya karena apartement yang mereka tinggali mengalami kebakaran.
Elana hanya gadis polos yang terpaksa melakukan segala hal demi memenuhi kebutuhan hidup. Ayahnya yang tidak berguna hanya bisa pulang ke flat dengan keadaan mabuk lalu memukuli Elana sampai babak belur jika merasa kesal. Dan karena pria bejat itulah, Elana harus menderita selama ini.
Bagaimana mungkin seorang ayah tega menjual anaknya sendiri pada seorang mucikari? Kalau Elena tidak menurut, dia bisa saja mati. Perempuan itu seperti anak ayam yang hidup dalam lingkungan anjing liar yang mematikan. Kalau dia tidak bisa mengonggong, maka dia hanya akan berakhir menjadi sebuah kudapan. Untungnya, Madame Marguerite punya sedikit sifat baik, dia hanya mengijinkan Elena bekerja hanya di hari rabu setelah pukul 11 malam. Madame Marguerite bukan orang baik, tapi aku tahu kalau dia juga bukan orang jahat. Dalam bahasa kasar, dia dalah orang yang menjual Elana pada lelaki mana pun demi segepok dolar Kanada. Tapi Madame Marguerite tidak akan pernah membiarkan siapapun untuk menyakiti Elana. Karena dia selalu melihat Elana seperti anaknya sendiri.
Dan hari ini adalah hari rabu. Aku mematikan komputer dan membereskan meja kerja tepat saat Levent berjalan ke mejanya dengan secangkir kopi. Aku melihat ada banyak uap di atasnya, menandakan bahwa kopi itu baru saja di buat.
"Apa?" Tanyaku. Karena setelah mejaku beres, Levent masih berdiri dan menatapku dengan heran. Kaca mata bulatnya masih bertengger di atas kepala, sementara lengan kemejanya masih tergulung rapi di atas siku. Kalau penampilannya seperti itu, sudah dipastikan Levent akan pulang subuh.
"Kau mau kemana?" Tanyanya. Dia benar-benar seperti orang yang sedang kebingungan.
"Caprice Nightclub."
Lalu aku melihat laki-laki itu melirik jam di pergelangan tangannya, "Jam segini? Kau ada liputan apa di sana?"
"Tidak ada. Aku hanya ingin menemui Elana sebentar sebelum aku pergi ke Carnegie Branch."
"Jam segini Carnegie Branch pasti sudah tutup, Bodoh!"
"Aku ke sana bukan untuk membaca buku, Bodoh! Aku hanya ingin menemui seseorang di dekat sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Granville✔
FanfictionPart of "Antologi Bulan Desember" Ini hanya soal bagaimana kau mengenal Granville dari sebuah ingatan. "Mark, sadarlah!" Aku sepenuhnya sadar. Benar-benar sadar. Yentang dia dan ingatan di Granville. ©tenderlova, 2020 | Granville