***
Tepat jam 1 pagi, aku berdiri pada Robson street yang sunyi. Nyaris tidak ada satu pun orang yang berkeliaran. Lampu-lampu neon pertokoan dan bar masih menyala provokatif. Masih sama seperti terakhir kali aku ingat, Granville nampak temaram. Seakan-akan kawasan ini menyimpan berjuta-juta peristiwa kelam yang memilukan. Seakan-akan Granville menjadi tempat penuh misteri yang tak kunjung terpecahkan.
Aku mengangkat kameraku sejajar dengan mata, lantas membidik beberapa gambar-- Granville yang sepi. Dulu, Elana pernah berkata padaku. Katanya, Granville itu seumpama kotak pandora yang menyesatkan. Semakin banyak kau gali rahasianya, semakin parah kau akan tersesat dan terluka.
Kini aku tahu, Elana benar. Sejatinya, Granville adalah bukti luka yang tak bersuara. Di deretan ruko bagian kanan, tepat di seberang jalan, aku melihat garis polisi masih di pasang pada sebuah cafe dengan lampu neon yang sudah tidak lagi menyala. Perlahan-lahan, aku berjalan ke arah cafe tersebut. Dan begitu aku sejajar dengan tempat itu, yang aku lihat bukan hanya cafe yang tutup. Melainkan jiwa seseorang yang telah mati.
Dari seberang jalan, cafe tersebut tidak terlalu besar. Namun desain luarnya cukup menarik. Hanya beberapa blok dari sana, bangunan Caprice Nightclub nampak berdiri dengan kokoh. Lalu beberapa blok lagi di bagian kanan, lampu neon kedai dessert Madame Jasline menyala terang.
Elana berada di tempat ini. Kemana pun Elana pergi, sejauh apapun itu, pada akhirnya Granville dan dua tempat itu adalah tempatnya kembali. Aku tersenyum singkat. Hingga tanpa sadar, kedua mataku berair dan jatuh tepat diujung sepatuku.
Seandainya aku bisa memberi kehidupan yang lebih baik untuk gadis itu...
Semakin mendekati pagi hari, udara semakin dingin. Jadi aku memutuskan untuk berjalan pulang. Meninggalkan Robson Street dalam keheningan yang fana. Kenapa aku menyebutnya fana? Karena semua orang di penjuru Kanada pun tahu, Granville tidak akan pernah tidur. Ada kehidupan tersembunyi di tempat ini. Kehidupan yang mungkin, tidak akan pernah mati.
Tidak ada yang namanya batas di sini. Granville adalah tempat dimana kehidupan yang sebenarnya di mulai. Hidup yang keras dan butuh perjuangan. Seperti hidup Elana.
Sepanjang jalan, aku mengeratkan mantelku karena suhu udara yang semakin menurun. Seandainya Elana ada di sini, mungkin keadaannya akan lebih baik. Bahkan hanya genggaman tangannya saja, sekujur tubuhku bisa menghangat. Seperti sekarang,
membayangkan senyum imut di wajahnya saja aku sudah merasa berdebar-debar.Elana... Elana...
Selamanya hanya akan ada Elana. Aku sepenuhnya menutup hatiku untuk orang lain dan menjebak Elana untuk tetap mendekam di dalamnya. Bahkan jika aku kedengaran seperti orang gila yang terobsesi dengan Elana, aku sama sekali tidak peduli.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah karena jarak Robson Street dan Nelson Street lumayan dekat. Tidak ada siapa-siapa saat aku membuka pintu. Hanya ada gelap yang menyambut dari segala penjuru. Mungkin orang-orang sudah tertidur mengingat ini sudah mendekati jam 2 pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Granville✔
FanfictionPart of "Antologi Bulan Desember" Ini hanya soal bagaimana kau mengenal Granville dari sebuah ingatan. "Mark, sadarlah!" Aku sepenuhnya sadar. Benar-benar sadar. Yentang dia dan ingatan di Granville. ©tenderlova, 2020 | Granville