***
Aku bergegas mengenakan mantel dan memasukkan beberapa note ke dalam tas saat jam digital di atas nakas menunjukkan pukul 6 lewat 18 menit. Lalu menarik syal hanger sebelum menyangklongkan kameraku di pundak. Ed sudah memberondongku dengan berpuluh-puluh panggilan sejak pagi tadi.
Aku harus datang ke Robson Street secepatnya kalau tidak mau kemampuanku sebagai jurnalis Orpheum diragukan orang-orang. Terutama Ed dan Arnav. Karena mereka berdua adalah manusia paling menyebalkan yang pernah aku temui. Ada kalanya mereka memuja-mujaku seperti aku ini adalah orang paling bijak di dunia. Tapi mereka juga bisa mencercaku habis-habisan kalau kinerjaku sebagai jurnalis menurun.
Dini hari tadi, salah seorang pemilik cafe di jalanan Robson ditemukan tewas di dalam cafenya. Setelah mendengar kejadian tersebut dari polisi setempat, aku buru-buru bangun dan bersiap. Kejadian ini bisa jadi berita besar jika aku merilisnya dengan cepat dan akurat.
Di luar, aku mendengar suara Johnny mengoceh sebab dipaksa ibu minum vitamin-- seperti apa yang aku alami semalam. Ibu memang begitu. Dia bisa menjadi orang paling rewel dan merepotkan jika orang-orang rumah tidak menurut untuk minum vitamin. Padahal wabah virus Mers--nah, sekarang aku ingat namanya--sudah berlalu berbulan-bulan yang lalu.
Aku buru-buru meraih gagang pintu dan melesat ke Robson Street secepatnya. Namun belum sempurna pintu kamarku terbuka, aku menoleh pada pot-pot sukulen yang berada di meja kerjaku. Aku baru ingat bahwa aku sudah mengabaikan tanaman itu nyaris seminggu lamanya.
Kemudian aku berbalik untuk memberikan beberapa semprotan air pada sukulen-sukulen berhargaku. Tanaman ini memberiku keberanian untuk hidup, jujur saja. Sukulen-sukulen milikku cantik, warna-warni serupa bunga mekar lainnya. Meski tak seindah tulip atau lily, sukulen memiliki ketegaran diri melebihi segalanya.
Sukulen hanya butuh sedikit air dan matahari pagi untuk bertahan hidup. Hanya butuh sedikit perhatian agar ia merasa bahwa sebenarnya ia dihargai. Sukulen tidak seperti bunga mawar yang butuh bergelas-gelas air dan berbagai macam perawatan untuk hidup. Makanya aku memilih sukulen sebagai filosofi dalam hidupku.
"Aku akan segera kembali." Aku tersenyum dan berbisisik pada sukulenku sebelum benar-benar meninggalkan mereka dalam remang-remang kamarku.
Dan benar saja dugaanku, Ibu langsung tersenyum terang begitu aku membuka pintu. Di tangannya terdapat sebuah pil dan gelas berisi air putih.
Aku menghela napas panjang, "Bu, aku sehat-sehat saja. Lihat?"
Namun ibuku hanya menggeleng sembari menyodorkan dua vitamin di depan mulutku. "Ini supaya imun tubuhmu bagus, Mark. Kau tahu akhir-akhir ini cuaca sering menurun drastis. Aak! Muka mulutmu!"
"Semalam kan sudah, Bu."
Ibu berdecak, "Itu karena paginya kau tidak minum vitamin saat ibu menyuruhmu. Sudah, jangan banyak protes. Telan saja! Ini demi kebaikanmu, Mark!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Granville✔
FanfictionPart of "Antologi Bulan Desember" Ini hanya soal bagaimana kau mengenal Granville dari sebuah ingatan. "Mark, sadarlah!" Aku sepenuhnya sadar. Benar-benar sadar. Yentang dia dan ingatan di Granville. ©tenderlova, 2020 | Granville