Akhir Kisah Pilu

50 8 2
                                    

Setelah pertemuan keduanya, mereka sepakat untuk membatalkan pertunangan.

Agra pikir setelah pertunangannya dengan Allen batal. Dia bisa kembali ke sisi Kinara. Kekasih yang sangat dia cintai. Ternyata tidak! Kinara tetap pada pendiriannya. Memilih melepas Agra.

Sejak saat itu Agra menempatkan Allen sebagai orang yang paling dia benci. Jangankan bertegur sapa, melihat wajah Allen pun sepertinya dia tidak sudi.

***

Batalnya pertunangan mereka berakibat juga pada gagalnya penyatuan dua perusahaan raksasa.

Allen pikir semuanya sudah berakhir. Ternyata dia salah. Kenyataan yang lebih pahit harus dia rasakan.

Allen kembali ke rumah mewahnya dengan perasaan hancur. Langkahnya tertatih. Wajah putih bersih itu terlihat semakin pucat karena terus menerus menangis. Bahkan ujung hidungnya memerah.

Begitu masuk ke ruang keluarga. Allen sudah disambut oleh orang tuanya. Keduanya terlihat berdiri di ujung anak tangga. Memperlihatkan ekspresi tidak terbaca. Allen mengernyitkan alisnya. Mungkinkah orang tuanya marah karena pertunangannya dan Agra batal?

“Pergi kamu dari rumah ini. Kamu bukan anak kami!” seru Anton yang berdiri sembari berkacak pinggang. Dia menendang koper besar milik Allen.

“Pah, a-apa maksudnya?”

“Dari awal aku membesarkanmu agar kamu bisa berguna dikemudian hari. Cih, ternyata tidak. Menaklukan hati putra keluarga Grissham saja tidak bisa. Percuma aku membiayai perawatan tubuhmu!"

Allen bergeming. Dia mencoba mencerna kalimat yang baru saja terlontar dari mulut ayahnya. Apa salahnya jika pertunangan itu gagal? Toh ini juga bukan keinginan Allen. Keduanya memiliki alasan masing-masing untuk tidak melanjutkan hubungan.

“Pah, tolong maafkan Allen.” Anita bersujud di kaki Anton dengan berlinang air mata.

“Mah, sebenarnya ada apa?” Allen berjalan mendekati ibunya. Merangkul bahunya dan membantu agar Anita berdiri. Bangun dari tempatnya bersimpuh.

Anita melirik Anton dengan perasaan takut. Suaminya justru membuka kelopak matanya sampai bola hitam itu nyaris keluar. “Jelaskan semuanya pada anak tolol ini. Aku sudah muak melihatnya!” seru Anton.

“Mah, sebenarnya Papah kenapa?” tanya Allen.

Anita menggigit bibirnya. Kedua pipinya masih basah karena jejak air mata. "Se-sebenarnya kamu ....”

“Dasar tidak berguna! Menjelaskan begitu saja tidak bisa." Anton turun dari anak tangga terakhir. Sekarang jaraknya dengan Allen cukup dekat.

"Pah. Apa yang terjadi?" tanya Allen dengan lelehan air mata dikedua pipinya.

"Dengar baik-baik, Allen. Kau bukanlah anakku. Ketika aku menikah dengan ibumu, kau baru berusia satu tahun. Aku mau menerimamu karena kau adalah anak perempuan. Aku pikir suatu saat nanti aku bisa menjodohkanmu dengan keluarga kaya. Menjalin hubungan keluarga agar bisnisku semakin besar. Ternyata kau merusak semua rencana yang aku susun sekian lama. Karena perjodohanmu dengan Agra batal. Maka kau tidak berguna lagi untukku!”

“A-apa itu benar, Mah?” tanya Allen dengan tubuh gemetar berusaha menggapai tangan ibunya. Anita hanya menganggukan kepala, terlalu berat untuk membuka mulutnya.

Allen terisak. Anggukan kepala dari ibunya sudah bisa menjawab semua pertanyaan Allen. "La-lalu di mana ayahku?” tanya Allen dengan napas tersengal.

“Papahmu sudah me-meninggal. Sebelum Mamah menikah dengan Papah Anton," ucap Anita.

Allen terduduk di lantai. Seperti disambar petir di siang bolong. Tubuh kecilnya bergetar hebat. Hilang sudah kesombongan yang selalu dia banggakan selama ini. Ternyata nasibnya tidak lebih baik dari orang yang sering dia rendahkan. Semua potret kelakuan jahatnya selama ini berkelebat di kepala, jika bisa dia ingin mendatangi satu per satu orang yang pernah dia sakiti lalu meminta maaf pada mereka.

“Sekarang pergi dari rumahku!” Anton menaikkan tangannya. Telunjuknya mengarah langsung ke pintu yang terbuka.

Allen mendongakkan kepalanya. Menatap wajah ayahnya dengan tatapan sedih. Berharap masih ada cinta di hati ayahnya. Namun, Allen tidak menemukannya.

Allen menundukkan kepalanya. Dari seorang putri yang begitu dimanja, dalam sekejap dia berubah menjadi orang asing yang terhina di mata Papahnya. Dengan mata basah dia bertanya, “Jika aku pergi dari rumah ini ... aku harus tinggal di mana, Pah?”

“Itu bukan urusanku!” pekiknya kencang.

Tubuh Allen seperti diguyur air es. Sakit tak terperih. "Mah, aku harus ke mana? Selama ini aku hanya tahu jika aku punya kalian. Jika kalian seperti ini, aku harus berlindung pada siapa lagi?” tanyanya dengan napas memburu.

“Allen ... Mamah minta maaf, Nak. Mamah tidak bermaksud menyembunyikan semuanya darimu. Mamah pikir pertunanganmu dan Agra akan berjalan lancar." Anita mendekati Allen.

“Arrrrhhhg ....” Allen mengerang sembari memukul keras dadanya. “Aku harus ke mana, Mah?”

“Berdiri, Sayang. Jangan seperti ini. Untuk sementara kamu bisa tinggal di rumah Nenekmu. Ini alamatnya.” Anita menyodorkan kotak yang sudah lapuk. Termakan waktu. Ada alamat di secarik kertas dan beberapa foto sebagai bukti bahwa Allen adalah anak dari Anita.

“Mamah tega mengusirku? Membiarkan aku tinggal tanpa dirimu?"

Anita hanya bisa menunduk dalam.

“Mah, walaupun susah. Ayo kita hidup bersama-sama. Kita bisa memulai hidup baru dengan Nenek,” ucap Allen polos sembari menggenggam tangan Ibunya. Dia masih berharap Anita memiliki cinta yang besar untuknya sehingga Anita mau meninggalkan gemerlapnya hidup yang diberikan Anton.

“Kemari!” Anton menarik tangan Anita sampai wanita berambut ikal itu berdiri di belakangnya. “Kau mau ikut dengan putrimu yang tidak berguna dan hidup miskin atau tetap denganku? Hidup dalam kemewahan! Jawab!”

Anita tidak menjawab. Dia hanya menundukkan kepalanya. Allen menggigit bibir bawahnya yang gemetar sekuat tenaga, kedua tangannya mengepal, kuku-kukunya mencengkeram kuat telapak tangannya. Namun, dia tidak merasakan sakit. Hanya hatinya yang sakit.

Allen memusatkan kekuatan di kakinya. Dia bangun. Meraih koper dan berjalan mendekati Anton dan Anita. “Untuk terakhir kalinya. Aku ingin menghormati kalian sebagai orang tua yang telah membesarkanku."

Allen mengulurkan tangannya. Dia hanya ingin mencium punggung tangan Anton dan Anita. Namun, Anton bergeming. Beruntung Anita masih diperbolehkan memeluk putrinya.

“Maafkan Mamah, Nak.” Anita terisak dalam pelukan Allen.

“Mamah tidak perlu minta maaf. Mamah tidak salah.” Allen mengusap air mata yang membasahi kedua pipi Ibunya. “Jaga diri Mamah. Semoga Mamah selalu baha-gia. Aku pamit.” Allen meraih tangan Anita. Mencium punggung tangannya dengan lelehan air mata yang jatuh. Tak terhitung berapa jumlahnya.

More than MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang