09. Utang Masa Lalu

64 3 1
                                    

Pantry menjadi salah satu tempat paling nyaman di perusahaan. Allen bisa menumpahkan segala perasaannya di sini. Di temani secangkir kopi dan suasana hening. Tentu saja.

“Hey, cantik.” Alisa meraih gelas yang sedang di genggam Allen. Menenggak isinya sampai tandas. Dia meletakan kardus berisi tumpukan barang-barangnya di meja yang sama. Bersisian dengan kardus milik Allen. “Bola matamu bisa keluar jika kamu terus melotot begitu.”

Allen yang bingung dengan isi kardus di depannya hanya bisa melotot dengan mulut sedikit terbuka. Pada bagian atas tumpukan barang ada name tage Alisa yang terletak sembarang. Sama persis seperti isi kardus miliknya. “Lisa. Apa maksudnya ini?!” Menggoyang kardus milik Alisa.

Alisa hanya mengedikkan bahu lalu berucap santai, “Bukan apa-apa. Aku hanya mengundurkan diri.”

What the ....” Allen memejamkan matanya. Menarik napas dalam dengan bahu naik turun. Melakukan berulang sampai emosinya mulai stabil baru dia berucap dengan penuh penekenan, “Jelaskan!” Allen bangun dari duduknya, berjalan mendekati mesin pembuat kopi. “Mau kubuatkan apa? Kopi atau teh? Kurasa ada yang salah dengan otakmu.”

Alisa tertawa ringan. “Kopi hitam tanpa gula.”

Allen mengerutkan keningnya. Sejak kapan temannya suka kopi hitam? Tanpa gula pula. Sepertinya otak Alisa sudah pindah ke kerongkongan. “Jadi kenapa berhenti? Kamu dipecat juga?”

“Hei! Siapa yang berani memecatku? Ingin berhenti saja. Sepertinya kita berdua memang tidak cocok bekerja di perusahaan ini. Mungkin kita tidak cocok kerja di darat. Kurasa kita perlu mencoba kerja di air. Kita berdua ‘kan shio ular.” Alisa terkekeh sendiri dengan bualannya. Dia sendiri bahkan tidak tahu dia itu shio apa. Hanya mengarang bebas saja.

“Ngelawak kamu? Come on, Lis. Kita kerja sudah bertahun-tahun, kata tidak cocok sepertinya bukan alasan yang tepat.” Meletakan dua cangkir kopi di atas meja. Satu miliknya satu lagi untuk Alisa. “Kamu tidak perlu merasa kasihan padaku. Lagi pula aku bisa mencari pekerjaan lain. Jangan terlalu gegabah dalam mengambil keputusan.”

“Dia tidak profesional, Al. Bisa-bisanya mencampur adukkan perasaan dan pekerjaan. Tentu saja dua hal itu berbeda. Tidak bisa disamakan.” Meneguk kopinya, detik berikutnya Alisa menyemburkan kopi yang ada dimulutnya. “Allen! Tega, yah. Kamu benar-benar membuatkan kopi hitam tanpa gula?”

Allen tersenyum sambil mengangkat cangkir kopi miliknya. “Sesuai permintaanmu. Kopi hitam tanpa gula, setelah ini jalanmu tidak akan mudah. Semoga pahitnya kopi bisa membuat kamu sadar! Jangan mengambil keputusan seenaknya,” ucap Allen penuh pelan, tapi percayalah. Setiap kata yang dia ucapkan penuh penekanan.

“Dasar! Kamu marah gara-gara aku menghardik Agra?”

“Bukan. Bahkan ketika kamu memakinya, aku tidak keberatan. Itu hakmu. Bagaimana kamu menilai Agra bukan jadi urusanku. Aku hanya tidak habis pikir kenapa kamu mengundurkan diri.”

Terkadang Alisa memang tidak bisa membedakan mana setia kawan mana tindakan bodoh. Seperti sekarang ini, menurut Allen keputusan yang Alisa ambil terlalu gegabah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

More than MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang