8. Laki-Laki Berhati Dingin

25 3 0
                                    

Allen menatap nanar amplop putih di depannya. Kedua tangannya mengepal sampai kuku tajamnya terasa menancap di telapak tangan. Buku-buku kukunya sudah berubah kemerahan. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Ingin marah dan berteriak, tetapi hanya akan membuatnya malu dan membuang energi percuma.

“Maafkan saya, Allen. Sungguh saya tidak berniat memecatmu,” ucap laki-laki yang duduk di depannya. Memangku kedua tangan di atas meja kerja. Laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala yang jarang ditumbuhi rambut, dia adalah Manager di perusahaan tempat Allen bekerja.

“Pak, tolong berhenti minta maaf padaku. Jika memang Bapak tidak berniat memecat saya, kenapa tetap Bapak lakukan?”

“Saya terpaksa, Allen. Maaf.”

“Pak, jangan mengatakan maaf terus. Paling tidak Bapak harus menjelaskan kenapa saya dipecat? Memangnya apa salah saya? Saya pekerja yang baik, tekun, dan tidak pernah minta ijin selama satu tahun terakhir. Bahkan dalam keadaan sakit pun saya tetap bekerja. Berusaha memenuhi kewajiban saya sebagai karyawan yang baik dan tidak pernah merugikan perusahaan.” Kepalan tangannya semakin kuat diikuti amarah yang tidak bisa disalurkan. “Sudah lima belas menit saya duduk di sini dan Bapak tidak bisa menjawab satu pun pertanyaan saya. Apa salah saya sampai saya dipecat? Tolong jawab, Pak.”

“Saya benar-benar tidak tahu alasannya. Saya hanya bisa bilang maaf atas pemecatan sepihak ini.”

Allen meremas ujung kemejanya dengan tangan gemetar. Cih, tidak tahu alasan kenapa aku dipecat? Bukankah itu terdengar tidak masuk akal, batinnya.

Ingin sekali Allen melontarkan kalimat itu, tetapi rasanya dia tidak sampai hati berkata kasar pada Manajernya. “Bisakah Bapak berhenti mengatakan maaf? Tolong. Itu tidak memperbaiki apa pun.” Allen memalingkan wajahnya. Segera menyeka sudut matanya yang basah. Dia tidak ingin bosnya melihat betapa lemah dirinya.

“Saya juga tidak tahu alasan pastinya, Allen. Saya hanya menjalankan perintah dari atasan yang baru. Kau tahu ‘kan jika perusahaan kita sudah diakuisisi?” tanya Bosnya dan Allen mengangguk. Kabar tentang perusahaan yang telah beralih pemilik sudah tersebar seminggu yang lalu, tetapi tak ada satu pun dari karyawan yang tahu wajah sang Presdir. “Kudengar Presdir sendiri yang meminta kau diberhentikan. Mungkin beliau tidak suka dengan kinerjamu atau ....”

“Ada apa dengan kinerjaku, Pak?” sergah Allen, “Selama ini aku bekerja dengan sangat baik. Bahkan Bapak sendiri tahu kinerjaku. Kupikir Bapak memanggilku karena ingin menaikkan jabatanku, bukan malah dipecat.” Allen menggigit bibir bawahnya.

Tidak! Dia tidak boleh menangis meskipun kelebatan wajah keriput neneknya sudah menari-nari di otaknya. Hari ini seharusnya dia membelikan obat untuk neneknya. Siapa sangka dia begitu sial. Dipecat tanpa tahu apa alasannya. Sementara mendapat pekerjaan lain dalam waktu dekat juga tidak semudah membalik telapak tangan.

“Begini saja, Allen. Jika nanti ada lowongan pekerjaan di kantor ini, maka saya akan langsung menghubungimu. Untuk saat ini saya tidak bisa banyak membantumu.” Menarik laci. Mengambil amplop putih kedua dan menyodorkan pada Allen. “Saya benar-benar minta maaf, Allen. Siapa pun tahu kinerjamu yang luar biasa, tetapi sekali lagi saya hanya menjalankan perintah dari atasan. Saya tidak berani membantah.”

More than MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang